Senin, 06 Februari 2017

Tentang Sebuah Pasal

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan taatilah pemimpin di antara kalian. Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) …”  (An-Nisa’ [4]: 59)

o0o

Sebuah pasal dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) diperlihatkan oleh pejabat Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) kepada sejumlah pemimpin redaksi media Islam yang siang di awal Januari 2017 itu mengunjunginya. Pasal tersebut rupanya telah mereka jadikan landasan untuk memblokir sejumlah situs Islam di permulaan tahun ini.

Bunyi pasal tersebut kira-kira seperti ini: pemerintah wajib melakukan pencegahan atas penyebarluasan informasi yang memiliki muatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Wajib, kata sang pejabat, artinya harus dilakukan. Jika tidak, justru Kementrian Kominfo telah melanggar undang-undang tersebut.

Para punggawa media-media Islam ini saling berpandangan. Mereka tak menyangka adanya pasal seperti itu dalam undang-undang yang baru direvisi tahun 2016 ini. Mereka tak bisa menyanggahnya lagi karena UU tersebut sudah disyahkan. Mereka hanya bisa bertanya muatan apa yang dianggap melanggar peraturan perundang-undangan sebagaimana disebut dalam pasal itu.

Sang pejabat menyebutkan beberapa contoh: Anti NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), anti pemerintahan yang sah, ingin mengubah NKRI menjadi khilafah, atau ikut menyebarkan kebencian.

Jawaban ini jelas menimbulkan pertanyaan baru. Bukan sekadar satu, tapi banyak.  Misalnya, bagaimana cara menyimpulkan suatu artikel terkategori anti NKRI dan anti pemerintahan yang sah?

Apakah sekadar menyajikan fakta –misalnya--- tentang sekelompok masyarakat yang berdemonstrasi di depan istana menuntut agar prisiden mundur terkategori anti pemerintahan yang syah?

Apakah mengutip pernyataan pakar bahwa presiden telah menyebarkan berita hoax dan penguasa adalah pembuat berita hoax terbaik terkategori anti pemerintahan yang sah?

Apakah mengutarakan keinginan dan kerinduan akan tegaknya khilafah Islamiyah di bumi Nusantara terkategori melanggar peraturan perundang-undangan? Apakah membandingkaan antara sistem pemerintahan di negara ini dengan sistem pemerintahan di masa Khalifah Ar-Rasyidin juga terkategori larangan?

Apakah ungkapan kebencian kepada kebathilan dan kezaliman juga melanggar UU ini?  Bagaimana dengan ungkapan kebencian kepada mereka yang telah menodai Islam dengan membentuk aliran-aliran sesat?

Bagaimana pula dengan ungkapan kebencian kepada mereka yang telah terang-terangan menghina para Sahabat terbaik Rasulullah SAW dan itu dilakukan berulang kali?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja tak diutarakan oleh para punggawa media-media Islam kepada pejabat Kominfo yang siang itu menemui mereka. Mereka sadar bahwa tidaklah tepat jika pertanyaan-pertanyaan tadi diajukan kepada pejabat Kominfo.

Pertanyaan-pertanyaan tadi lebih tepat jika diajukan kepada ulama. Merekalah tempat bertanya kaum Muslim tentang hukum boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan jika terjadi perselisihan. Mereka akan mendasarkan jawabnya pada al-Qur’an dan Hadits sebagaimana pesan Allah SWT dalam al-Qur’an surat An-Nisa’ [4] ayat 59 di atas.

Wallaahu aa’lam


(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat