Senin, 05 Desember 2016

Debat yang Beradab

“Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras debatnya,” (Riwayat Bukhari).
o0o

Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, dikhabarkan pernah menolak undangan diskusi dari sebuah stasiun televisi swasta ketika ia tahu bakal diadu dengan mantan ketua PP Muhammadiyah lainnya, Syafi’i Ma’arif.

Din tahu, jika ia hadir dalam diskusi tersebut, ia akan berdebat dengan Syafi’i dan ditonton banyak orang. Kebetulan, tema yang diusung dalam diskusi tersebut adalah “Apa yang terjadi setelah aksi 411?” Din mendukung aksi tersebut, sedang Syafi’i tidak.

Kita tahu, pada 4 November (411) 2016 lalu, 2 juta kaum Muslim dari seluruh Indonesia berunjuk rasa di depan Istana Negara. Mereka menuntut agar Gubernur DKI Jakarta, Basuki T Purnama yang telah menista al-Qur’an ditangkap. Belakangan, Ahok, panggilan sang Gubernur, ditetapkan oleh Kepolisian RI sebagai tersangka.

Meski Din meyakini sikapnya mendukung aksi tersebut benar, namun ia tak mau berdebat dengan Syafi’i. “(Saya) tidak ingin menunjukkan perpecahan Muhammadiyah di depan publik,” jelasnya kepada wartawan.

Patut kita renungkan sikap bijak yang diambil mantan ketua PP Muhammadiyah ini. Meski lewat debat kita bisa menunjukkan bahwa “kita benar dan mereka salah,” namun dimensi debat bukan sekadar kita dan mereka. Ada satu dimensi lagi yang kerap dilupakan oleh orang-orang yang gemar berdebat, yakni publik yang menyaksikan perdebatan tersebut.

Dimensi ketiga ini memang tak ikut dalam perdebatan. Namun merekalah sesungguhnya yang menentukan siapa “pemenang” dari perdebatan tersebut.  Siapa yang bisa mengambil hati publik, dialah yang akan tampil sebagai “pemenang” meskipun dia terpojokkan dalam adu argumentasi.

Karena itu tepatlah apa yang dikatakan oleh ulama bahwa orang yang suka berdebat tanpa memperhatikan adab akan menghilangkan keberkahan ilmunya. Sebab, orang yang menjatuhkan dirinya dalam perdebatan tanpa adab, hanya ingin dirinya menang.

Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat An-Nahl [16] ayat 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..."

Namun, jika kita merasa perdebatan tersebut tak banyak memberi manfaat, maka hindarilah. Terlebih jika perdebatan tersebut berlangsung di depan publik.

Pesan Rasulullah SAW dalam Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, "Saya memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar ..."  

Tak inginkah kita mendapatkan jaminan Rasulullah SAW ini?

Memang, kewajiban seorang Muslim adalah menjelaskan kebenaran  dan mengingkari kemungkaran. Jika penjelasan kita tentang kebenaran bisa diterima oleh lawan bicara, maka itulah yang kita kehendaki. Namun jika penjelasan kita ditolak, hendaklah kita meninggalkan perdebatan.

Wallahu a’lam.


(Dimuat di Majalah Suara Hidayatullah rubric Salam edisi Desember 2016)