Senin, 23 Mei 2016

Hijrah dari Gereja ke Sekolah

Sudah lima tahun Deni, bocah yang tinggal di Dusun Warengkris, Distrik Mayalibit, Waisai, Raja Ampat, belajar di gereja. Padahal, Deni seorang Muslim.

Bukan sekadar Deni yang terpaksa belajar di Gereja, tapi juga 20-an anak Muslim lain. Mereka melakukan itu karena di distrik tersebut memang belum ada sekolah.

Sebenarnya, di dekat gereja tersebut ada masjid kecil. Tapi, menurut Fadzlan Garamatan, ketua Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN), masyarakat di distrik tersebut tak terbiasa belajar di mushola. Mereka terbiasa belajar di sekolah. Apalagi, guru Muslim di sana memang belum ada.

Sementara gereja, menurut Fadzlan, bisa dengan mudah disulap menjadi sekolah. Apalagi di gereja tersebut ada guru yang siap mengajar anak-anak itu.

Lalu, beberapa bulan lalu, AFKN bersama masyarakat sekitar bergotong royong mendirikan sebuah sekolah amat sederhana.

Sekolah tersebut hanya terdiri atas tiga kelas. Satu kelas berukuran 3 x 3 meter persegi. Dindingnya terbuat dari papan. Pintunya juga dari papan. Sedang lantainya semen kasar.

Masing-masing kelas hanya ada 4 meja saja dan empat bangku agak panjang. Itupun sudah amat rapuh. Papan tulis berwarna hitam. Sedang alat tulis masih menggunakan kapur.

Setelah sekolah ini berdiri, anak-anak pun hijrah. Mereka mulai meninggalkan gereja dan pindah belajar ke sekolah. Jumlah pengajar hanya satu, sedang muridnya ada 22 orang.

Menurut Fadzlan, meski sekarang anak-anak tersebut sudah meninggalkan gereja, namun itu saja belum cukup. Sekolah tersebut harus diperbaharui. Anak-anak harus bisa bersekolah dengan nyaman. Guru-guru pun harus diperbanyak.

Fadzlan berharap, lewat jambore dakwah AFKN yang rencananya akan digelar pada Desember 2016 di tempat tersebut, maka keadaan sekolah itu akan berubah. Apalagi bila kaum Muslimin di luar Raja Ampat ikut memberikan dukungan kepada anak-anak itu. *

(Artikel ini dimuat di situs Hidayatullah.com pada 23 Mei 2016)