Jumat, 18 Maret 2016

Media dan MEA

"Jika bisa dipersingkat, mengapa harus 2020?" Kira-kira demikian kesepakatan sederhana ketika 10 pemimpin negara-negara ASEAN berkumpul di Cebu, Filipina pada Januari 2007 silam. Kesepakatan itu kemudian familiar dengan sebutan “Deklarasi Cebu”

Apa yang dipersingkat? Tentu saja rencana menyelenggarakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau Asean Economic Community (AEC) yang sedianya diperkirakan baru terlaksana pada 2020, sesuai dengan visi ASEAN 2020.

Apa itu MEA? Secara sederhana, MEA adalah kesepakan bersama 10 negara ASEAN untuk membuka pintu lebar-lebar bagi lalu lintas barang, jasa, modal, kapital, dan tenaga kerja terampil.

Logikanya, jika sekat telah dibuka, maka peluang bakal kian bertambah: Peluang untuk memperbesar pasar, memperoleh investor, mendapatkan kesempatan kerja, mempekerjakan tenaga terampil, memperoleh modal usaha, dan peluang-peluang hebat lainnya.

Bahkan, katanya ---dan ini menjadi salah satu tujuan MEA--- runtuhnya sekat ini akan memeratakan pertumbuhan plus meminimalkan kesenjangan ekonomi masyarakat ASEAN. Pokoknya, MEA dipercaya mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat ASEAN. Hebat bukan?

Tapi, apa benar seperti itu? Entahlah! Saya tak bisa memprediksinya karena saya bukan ahli ekonomi.

Namun, beberapa pakar memperkirakan Indonesia belum siap menghadapi keterbukaan ini. Indonesia akan kalah dalam bersaing dengan negara-negara tetangga, termasuk dengan Thailand dan Philipina, terlebih bila dibanding dengan Brunei, Malaysia, dan Singapura. Indonesia hanya menang dalam hal luas negara yang besar, jumlah penduduk yang banyak, dan sumberdaya alam yang melimpah.

Lantas, bagaimana dampak dibukanya sekat negara regional tersebut terhadap perkembangan media massa di tanah air? Jawabnya, tergantung pada sisi apa kita melihatnya. Kita tahu, ada bearagam alasan mengapa sebuah media didirikan. Alasan paling utama, tentu karena bisnis.

Akan tetapi, bisnis bukan tujuan satu-satunya. Ada juga yang memiliki tujuan lain. Untuk dakwah, misalnya. Beberapa media Islam bahkan tidak menerima iklan sama sekali. Mereka bisa tetap eksis dari “kerja gotong royong” masyarakat.

Ada juga yang dibuat untuk tujuan politik. Kita kerap melihat bermunculannya media-media baru menjelang pemilihan umum. Setelah pemilu usai, maka usai pula nasib media-media ini, meskipun ada pula yang dibiarkan tetap bertahan untuk mendukung kepentingan politik “sang pemilik media.” 

Sebenarnya, soal penyebaran informasi, tanpa MEA pun, sekat regional itu sudah tak ada. Sekat ini bahkan sudah lama dibuka, tepatnya sejak era 90-an, di mana internet mulai dikenal masyarakat Indonesia.

Dulu, produk pers ada wujudnya dan bisa kita jual. Ada Koran, majalah, tabloid, bulletin, dan buku.

Ketika itu, penyebaran produk-produk ini sangat sulit menembus batas-batas negara. Jangankan batas negara, sekadar batas-batas propinsi pun tidak mudah. Hanya sedikit media cetak yang penyebarannya mampu menjangkau seluruh Indonesia.

Namun, di dunia maya, batas-batas itu sudah tak ada lagi. Biaya “pengiriman” yang harus dikeluarkan pun tak ada (sangat kecil). Teknologi internet benar-benar telah menggeser teknologi cetak.

Bahkan, teknologi internet tak sekadar merobek sekat kenegaraan, tapi juga "sekat" waktu. Kejadian hari ini di salah satu belahan dunia, bisa diketahui hanya dalam hitungan detik.

Wajarlah bila ada yang memperkirakan media cetak perlahan-lahan akan mati, diawali dari negara-negara maju yang infrastruktur telekomunikasinya telah berkembang pesat.

Tak sekadar mematikan, teknologi internet juga bisa mengubah budaya dan perilaku masyarakat meskipun tak sehebat pengaruh televisi. Maraknya fenomena LGBT, salah satu contohnya. Penyakit yang dibenci oleh Islam ini telah dianggap “wajar” dan hanya sekadar “pilihan hidup” oleh sekelompok masyarakat Indonesia.

Jadi, bila tujuan sebuah pemberitaan sekadar ingin menyebarkan informasi (jangan lupa, dakwah juga erat kaitannya dengan penyebaran informasi), maka MEA jelas tak memberi pengaruh apa-apa. Sebab, sekat informasi sudah lama terbuka.

Namun, kita tahu, media saat ini lebih identik dengan industri ketimbang ideologi. Sebuah media, bahkan, baru dianggap sebagai produk pers oleh Dewan Pers bila ia bernaung di bawah perusahaan pers. Jika ia sekadar berada di bawah naungan yayasan atau ormas Islam, maka ia tidaklah terkategori produk pers.

Di sisi lain, bisnis media di negeri ini masih cukup menggiurkan. Lihatlah Detik.com. Empat tahun lalu, target keuntungan bersih mereka mencapai Rp 120 miliar. Sekarang mungkin lebih banyak lagi.

Nah, ketika uang sudah menjadi tujuan, maka kehancuran akhlak akan kian dekat. Pemain-pemain baru di bisnis media akan meramaikan “perang opini” di tengah masyarakat.

Sepuluh tahun lalu, National Intelligence Council (NIC), gabungan intelijen dari 15 negara yang bermarkas di kantor Central Intelligence Agency (CIA), Langley Virginia, Amerika Serikat (AS), pernah membuat empat prediksi mengenai siapa yang bakal menguasai dunia di tahun 2020 kelak. Keempatnya adalah yakni Amerika Serikat, Cina, India, dan Islam.

Tahun 2020 telah di hadapan mata. Amerika Serikat, Cina, dan India sudah menggeliat. Bagaimana dengan negara-negara Islam? Bagaimana pula dengan Indonesia sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia?

Kita memang harus banyak berbenah dan bersiap-siap. Bukan sekadar bersiap menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat, namun juga berupaya untuk mengimbangi dampak buruk dari kebebasan perdagangan ASEAN.



 
(Disampaikan pada Pekan Ilmiah Kampus STAI Bumi Silampari, Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Maret 2016)