Senin, 01 Februari 2016

Bersikap Benar

“Sesungguhnya Nabi tidak pernah marah terhadap sesuatu. Namun, jika larangan-larangan Allah (telah) dilanggar, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi rasa marahnya,” (al-Bukhari dan Muslim).
o0o

Marah, sedih, dan gembira, tentu lumrah dirasakan oleh setiap manusia. Tak ada manusia yang bisa mengelak dari rasa tersebut.

Hanya saja, seorang Muslim telah diatur oleh Islam kapan semestinya ia marah, kapan pula seharusnya ia bersedih, dan kapan selayaknya ia bergembira.

Seorang yang beriman pasti akan marah jika memang ia diharuskan marah, bukan malah diam saja. Begitu juga ia akan bersedih atau bergembira ketika ia memang harus bersikap demikian, bukan malah acuh tak acuh.

Jika seseorang tak terusik sama sekali kemarahannya ketika melihat atau mendengar ada orang yang menghina Allah SWT dan Rasul-Nya, menginjak-injak al-Qur’an, melecehkan simbol-simbol Islam, membantai kaum Muslim yang tak berdaya, maka kita perlu bertanya sejauh mana imannya kepada Islam. Jangan-jangan orang ini tak menganggap bahwa Allah SWT dan Muhammad SAW itu penting. Jika demikian maka sudah pasti syariat yang diturunkan oleh Allah SWT juga tak penting buatnya. Na’udzubillah.

Jika seseorang tak merasa sedih ketika mengetahui derita yang melanda saudara-saudara kita para pengungsi asal Suriah yang tengah berjuang menghadapi musim dingin yang ekstrim saat ini, maka perlu kita evaluasi apakah kita belum tergolong Muslim yang beriman. Jangankan sekadar memberi empati atau bantuan kepada mereka, sekadar ingin tahu pun tidak. Sudah pasti, iman kita cacat. Na’udzubillah.

Demikian pula ketika seseorang merasa lebih gembira mendengar khabar bahwa putra kesayangannya berhasil memenangkan kontes Idol di sebuah stasiun televisi ketimbang mendengar putra kesayangannya telah menuntaskan hafalan Qur'annya. Orang seperti ini pastilah lemah imannya. Sebab kita tahu, orangtua yang menganjurkan anaknya supaya bisa menghafal Qur’an, kata Rasulullah SAW, kelak di akherat akan mendapat jubah kemuliaan yang tak pernah ia peroleh di muka bumi.

Hanya saja, kemarahan, kesedihan, dan kegembiraan harus diejawantahkan secara benar. Sesorang yang menunjukkan kemarahan secara serampangan justru akan merugikan kaum Muslim yang lain. Kemarahan yang terluapkan secara salah berpotensi memunculkan fitnah di mana-mana, bahkan mengacaukan strategi dakwah yang sedang dibangun.

Kita patut menduga bahwa aksi terorisme yang muncul belakangan ini, sebagaimana insiden yang terjadi di Pusat Perbelaanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, pada medio Januari lalu, disebabkan karena curahan kemarahan yang keliru.

Nah, mari kita bersikap secara benar!

Wallahu a'lam.

(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2016)