"Setelah mendengar penjelasan para pembicara yang luar biasa tadi, saya ingin bertanya," ujar seorang kiai, pimpinan salah satu ormas Islam, saat menghadiri Mudzakarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) bertema Proyek Pembangunan Giant Sea Wall (GSW) dari Perspektif Ilmu Pengetahuan, yang diselenggarakan pada 8 Juli 2025 di Kantor MUI Pusat, Jakarta.
![]() |
Para pembiacara pada acara Mudzakarah MUI |
"Bisakah para pembicara memperkirakan kapan terjadinya kiamat?" tanyanya dengan wajah serius.
Pertanyaan itu jelas bukan lelucon. Namun, seisi ruangan sontak tertawa. Tiga pembicara yang hadir—Prof. Dr. Andojo Wuryanto, MCE, Ph.D., Dr. Ir. Dicky Muslim, M.Sc., dan Dr. Heri Andreas, S.T., M.T.—ikut tersenyum, meski tampak berusaha menahan tawa.
Sebenarnya, pertanyaan sang kiai sangat beralasan. Yang dimaksud bukanlah kiamat kubra—peristiwa akhir zaman sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an. Sang kiai tentu paham bahwa waktu terjadinya kiamat besar adalah rahasia Allah Ta’ala; tak satu makhluk pun mengetahuinya—termasuk Malaikat Jibril, apalagi para pakar geologi.
Yang dimaksud beliau adalah “kiamat kecil”—bencana lokal berskala besar yang bisa menghancurkan suatu wilayah. Dan wilayah yang dikhawatirkan itu adalah pesisir utara Pulau Jawa, termasuk Jakarta.
Lantas, kiamat kecil seperti apa yang dikhawatirkan itu? Mengapa bisa terjadi? Dan yang lebih penting: adakah solusi untuk mencegahnya?
Banjir Rob di Semarang
Mari kita mulai dengan sebuah peristiwa yang saya saksikan sendiri 25 tahun silam. Saat itu, saya diundang WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) untuk mengamati langsung banjir rob yang melanda Kota Semarang, Jawa Tengah.
Dampaknya sangat luar biasa. Sebagian besar wilayah pesisir Semarang terendam. Jalanan macet total, kendaraan tak bisa bergerak. Bahkan kereta api dari Jakarta dan Surabaya terpaksa berhenti jauh dari stasiun karena jalurnya tergenang air laut.
Banjir tak hanya merendam jalan raya, tapi juga tambak, kolam, dan lahan pertanian warga. Di banyak rumah, air mencapai pintu dan jendela. Untuk menghindari banjir, warga menguruk lantai rumah mereka. Akibatnya, jarak antara lantai dan plafon semakin pendek. Di beberapa rumah, penghuni bahkan harus menunduk untuk bisa masuk.
Seorang ahli dari Bakosurtanal (kini BIG) menjelaskan bahwa wilayah Semarang memang sangat rentan terhadap banjir rob. Tanah sejauh 3 km dari bibir pantai memiliki kemiringan yang sangat landai, bahkan 1 km di antaranya berada lebih rendah dari permukaan laut. Maka tak heran jika air laut dengan mudah masuk dan menggenangi daratan.
Di Demak—tetangga Semarang—kondisinya bahkan lebih mengkhawatirkan. Di desa-desa seperti Sriwulan dan Bedono, sebagian warga harus mengungsi, bahkan ada yang melakukan bedol desa—pindah massal meninggalkan kampung halaman. Padahal, menurut Rohani, tokoh masyarakat setempat, pada awal 1990-an sawah mereka masih subur dan produktif.
Namun, ketika abrasi pantai mulai menggerus daratan, para petani beralih menjadi petambak. Naasnya, beberapa tahun kemudian, tambak-tambak itu pun tenggelam diterjang pasang laut. Banyak yang akhirnya kehilangan mata pencaharian, termasuk Rohani.
Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MSE—saat itu menjabat Deputi III Menteri Negara Lingkungan Hidup—menyatakan bahwa bencana tersebut merupakan dampak dari perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali. Reklamasi, pembelokan alur sungai, pembangunan kawasan industri dan perumahan—semuanya memperparah kondisi pesisir.
Pembangunan seperti itu menyebabkan tanah amblas dan mengurangi daya serap terhadap air laut. Apalagi, struktur tanah di pesisir Semarang bersifat lunak dan mudah mengembang. “Idealnya,” kata Prof. Sudharto, “wilayah pesisir tetap dijadikan tambak seperti dulu, agar air pasang bisa terserap dan kembali ke laut secara alami.”
Jika 25 tahun lalu kondisi sudah separah itu, bagaimana dengan keadaan sekarang, saat pembangunan semakin massif, tidak hanya di Semarang, tapi juga di seluruh pantai utara Jawa, termasuk Jakarta?
Potensi "Kiamat" di Pantura
Dalam Mudzakarah MUI, Dr. Heri Andreas dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) ITB menjelaskan bahwa banjir rob disebabkan oleh dua faktor utama: Penurunan permukaan tanah secara permanen (land subsidence), dan kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global
Dari keduanya, penyebab terbesar adalah land subsidence. Data menunjukkan bahwa kenaikan muka laut di pantai utara Jawa (Pantura) saat ini sekitar 6 mm per tahun. Namun, penurunan permukaan tanah bisa mencapai 1 hingga 20 cm per tahun.
Rincian penurunan muka tanah tersebut, menurut data yang dipaparkan Heri Andreas, adalah sebagai berikut: Di Serang (Banten) mencapai 1-3 cm per tahun, di Tangerang 1-10 cm per tahun, di Jakarta 1-11 m per tahun, dan di Subang (Jawa Barat) 1-10 m per tahun.
Di Pekalongan, Semarang, dan Demak (Jawa Tengah), lebih parah lagi. Penurunannya bisa mencapai 1-20 meter per tahun. Sedang di Gresik (Jawa Timur) masih 1-3 cm per tahun.
Melihat angka-angka tersebut, bisa dibayangkan betapa parah kondisi saat ini, jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu ketika banjir rob di Semarang sudah begitu dahsyat.
Dr. Heri Andreas bahkan telah memodelkan potensi banjir rob di Semarang: Tahun 2030 (jika tanpa mitigasi), seluas 26.068 hektare bakal terendam. Sedang tahun 2050, seluas 35.396 hektare bakal terendam. Jika dibandingkan dengan luas Kota Semarang yang mencapai 37.370 hektar, maka luas wilayah yang akan terkena banjir rob pada 2050 hampir sama.
Sementara di wilayah Pekalongan, menurut Heri Andreas, potensi banjir pada tahun 2050 seluas 7.193 hektar, jauh melebihi luas Kota Pekalongan yang hanya 4.525 hektar.
Nah, jika keadaan ini tak segera diantisipasi, maka kiamat kecil sebagaimana diungkap Pak Kiai di awal tulisan ini, benar-benar bakal terjadi. Lantas bagaimana cara mengatasinya?
Solusi atau Ancaman Baru?
Menurut Prof. Dr. Andojo Wuryanto, salah satu solusi paling memungkinkan saat ini adalah membangun tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall (GSW). Presiden Prabowo Subianto pada Juni 2025 lalu telah mencanangkan pembangunan tanggul raksasa ini. Wilayah lepas pantai Jakarta bakal menjadi proyek pertama.
MUI sendiri menyatakan kekhawatirannya. Ketua MUI, Kiai Masduki Baidlowi, dalam sambutannya menegaskan bahwa proyek sebesar ini harus direncanakan secara cermat. Jika tidak, dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat pesisir justru bisa lebih parah.
“MUI merasa terpanggil karena jika pembangunan ini tidak dirancang dengan matang, bisa menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat,” ujarnya.
Semoga solusi yang dimaksudkan untuk menghindari kiamat kecil ini, tidak malah memicu kiamat baru yang lebih besar. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat