Kamis, 21 September 2023

Menuju Hulu Sungai Mahakam

Ada banyak sungai di Indonesia. Yang paling panjang, Sungai Kapuas. Urutan kedua, Sungai Mahakam di Kalimatan Timur (Kaltim).

Penulis saat menunggu perahu di pinggir Sungai Mahakam

Di Kaltim sendiri, Mahakam menjadi sungai terbesar dan terpanjang. Bila diukur dari hulu hingga hilir, panjangnya 920 kilometer. Bandingkan dengan panjang Pulau Jawa yang mencapai 1000 km. Hampir sama! 

Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah, saya sering mendengar nama sungai ini disebut oleh guru geografi. Namun, ketika itu, saya belum pernah melihat langsung. Hanya bisa membayangkannya saja. 

Saya juga pernah mendengar kabar kalau di Sungai Mahakam ada banyak spesies ikan langka. Salah satunya, Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) yang dijadikan maskot Kalimantan Timur.

Tentu saja, sebagai "mantan mahasiswa perikanan", saya amat tertarik mengunjungi sungai ini. Siapa tahu bisa ketemu Pesut Mahakam. Konon, bentuknya seperti ikan lumba-lumba, namun hidupnya di sungai.

Hari Ahad, pertengahan September 2023, saya berkesempatan mengarungi Mahakam. Tapi, bukan karena pesut, sebab saya sudah lama sekali tidak menggeluti persoalan perikanan. Saya mengarungi Sungai Mahakam untuk bertemu seorang dai muda di hulu sungai yang panjang ini. Namanya Ustad Taufik.

Taufik tinggal di Mahakam Ulu, tepatnya di Kampung Ujoh Bilang, Kecamatan Long Bagun. Untuk mencapai daerah ini, saya ditemani tim Pos Dai, harus menyusuri Sungai Mahakam selama 5 jam menggunakan perahu boat kecil bermesin satu dari Kutai Barat. Kadang perahu yang kami tumpangi berjalan zigzag untuk menghindari kayu-kayu besar yang hanyut dari hulu sungai.

Sebenarnya, untuk mencapai Mahakam Ulu, kita bisa naik kapal agak besar dari Samarinda. Lamanya tiga hari dua malam. Kok bisa selama itu? Sebab, di sepanjang pinggir Sungai Mahakam ada banyak sekali pelabuhan kecil. Kapal akan singgah di pelabuhan-pelabuhan kecil itu manakala ada calon penumpang yang berdiri menunggu di sana.

Belum lagi jalannya kapal yang sangat lambat. Mungkin karena bobot kapal yang lumayan berat, sementara mesin tak cukup kuat, ditambah lagi harus melawan arus Mahakam yang lumayan deras.

Dinding batu, salah satu spot indah saat menyusuri Sungai Mahakam.

Karena tidak mau menunggu waktu selama itu maka kami putuskan menempuh jalan darat. Lumayan menghemat waktu. Kami bisa tiba di Kutai Barat dalam waktu 12 jam. Lalu meneruskan dengan perahu bermesin satu selama 5 jam melawan arus Mahakam.

Lalu bagaimana kisah Ustad Taufik berdakwah di tengah komunitas Suku Dayak dan para pendatang di Mahakam Ulu? Anda bisa nikmati di buku yang insya Allah tak lama lagi akan terbit. Buku itu berkisah tentang dai-dai muda Hidayatullah yang memilih berdakwah di tempat-tempat yang tak banyak dipilih oleh pemuda seusianya.

Nantikan tanggal terbitnya ya.... ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat