Selasa, 31 Januari 2023

Baitul Maqdis Dibebaskan Tanpa Darah Tertumpah

(Seri ke-4 dari Kisah Pembebasan Baitul Maqdis) 

Hari yang ditentukan telah tiba. Semua panglima perang kaum Muslimin yang ditugaskan untuk membebaskan Negeri Syam dari Romawi Timur telah berkumpul di Jabiyah, suatu tempat di dekat Baitul Maqdis. Panglima tertinggi, Abu 'Ubaydah al-Jarrah, juga ikut berkumpul di sana. Mereka semua menunggu tibanya Sang Khalifah Umar bin Khaththab.

Peta wilayah Palestina dan sekitarnya, difoto dari buku Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal.

Baitul Maqdis ketika itu masih dikuasai oleh Romawi Timur (Byzantium). Namun, wilayah di sekitarnya sudah direbut oleh pasukan Muslim. Baitul Maqdis sudah dikepung dan diblokade. Panglima pasukan Romawi Timur, Atrabun, berada di dalam Baitul Maqdis bersama Uskup Agung (Patrick) Sofronius. 

Umar tiba di Jabiyah dengan mengenakan sepasang sendal dan menunggang seekor unta. Ketika telah dekat dengan para panglima perang yang telah menunggunya, sang khalifah turun dari untanya, melepas kedua sandalnya, lalu menceburkan kakinya ke sungai bersama untanya.  

Kedatangan Umar ke Jabiyah terdengar oleh Uskup Agung Sofronius dan Panglima Atrabun. Mereka berdua sadar bahwa tak ada gunanya lagi melawan. Beberapa wilayah Syam yang tadinya dikuasai Romawi telah direbut semua oleh pasukan Abu 'Ubaydah al-Jarrah. Mereka berdua tahu kota Yerussalem (Baitul Maqdis) tak akan bisa bertahan lebih lama lagi.

Atribun kemudian diam-diam membawa beberapa pasukannya kabur ke Mesir. Sementara Sofronius memilih berdamai dengan pasukan Muslim karena yakin ia tak akan disakiti oleh mereka. 

Maka, Sofronius mengirim utusan ke Jabiyah untuk bertemu Amirul Mukminin. Umar menerima utusan tersebut dengan baik dan menuliskan perjanjian untuk dibawa kepada Sofronius. Isi perjanjian itu, sebagaimana dikutip oleh Tabari, adalah sebagai berikut:

Bismillahir rahmaanir rahiim. Inilah jaminan keamanan yang diberikan  hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, kepada penduduk Elia (wilayah Baitul Maqdis). Umar menjamin keamanan bagi seluruh jiwa, harta, gereja, salib , orang lemah, orang medeka, dan semua agama yang ada. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni atau dirusak, dikurangi atau dipindahkan. Demikian pula salib dan harta mereka. Mereka tak akan dibenci karena agama. Tidak seorang pun dari mereka akan diancam, dan tidak ada seorang Yahudi pun boleh tinggal bersama mereka di Elia.

Jika ada penduduk Elia yang lebih senang menggabungkan diri dan hartanya dengan Byzantium, serta meninggalkan gereja-gereja dan salib-salibnya, maka jiwa, gereja, dan salib mereka dijamin keamanannya sampai mereka tiba di daerah tujuan (Byzantium). Siapa saja dari penduduk setempat (Syam) yang tinggal bersama mereka (penduduk Elia), maka ia boleh tinggal dan wajib membayar jizyah seperti kewajiban penduduk Elia, atau bergabung dengan Byzantium , atau kembali kepada keluarganya sendiri. Tidak ada sesuatu pun yang boleh diambil dari mereka sampai mereka memetik panen mereka.

Di atas semua yang tercantum dalam lembaran ini ada janji Allah, perlindungan Rasul-Nya, perlindungn para Khalifah, dan perlindungan semua kaum beriman, jika penduduk Elia membayar jizyah sebagai kewajiban mereka.

Saksi atas perjanjian ini adalah Khalid ibn Walid, 'Amr al-'Ash, dan Abdurrahman bin 'Auf. Ditulis dan dihadiri oleh Abdurrahman bin 'Auf dan Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, pada 636 M (atau 15 H)

Betapa senang Sofronius membaca isi surat perjanjian tersebut. Demikian juga penduduk Kota Yerussalem. Bagaimana tidak, pihak Muslim mengakui keberadaan mereka, memberikan jaminan keamanan atas harta, jiwa, dan kepercayaan mereka. Tak seorang pun boleh diganggu karena keyakinan agamanya, dan tak boleh dipaksa dalam keadaan apa pun.

Ini sangat berbeda ketika dulu mereka ditaklukkan oleh Heraklius, sang Kaisar Romawi. Ia memaksa penduduk Yerusalem meninggalkan keyakinan agamanya dan harus mengikuti ajaran negara yang resmi. Barangsiapa menolak, akan dipotong hidung dan telinganya, juga dirobohkan rumahnya. Bagi mereka, perjanjian yang dibuat Umar adalah perjanjian baru yang tak pernah ada sebelumnya.

Umar juga mengatakan kepada utusan Sofronius bahwa khalifah sendiri yang akan datang ke Baitul Maqdis guna menerima kunci dari tangan Sang Uskup Agung. Padahal sebelumnya, Umar tidak pernah keluar dari Madinah untuk menaklukkan suatu negeri. Ini menunjukkan betapa penting Baitul Maqdis bagi kaum Muslim.

Maka, pada tahun 636 M, Baitul Maqdis bisa dibebaskan dengan penuh kedamaian. Inilah peristiwa pertama kali dalam sejarah penaklukan kota Yerusalem atau Baitul Maqdis tanpa ada darah yang tertumpah. Inilah keagungan akhlak Islam bagi orang-orang yang berfikir.

Meskipun dalam perjanjian Elia yang ditulis Umar termaktub larangan kepada kaum Yahudi untuk tinggal di Baitul Maqdis, namun, menurut Karen Armstrong, mengutip buku A History of Palestine karangan Moshe Gil, larangan itu hanya sementara. 

Seiring berjalannya waktu, kaum Yahudi juga diizinkan untuk tinggal dan mendirikan tempat ibadah di Baitul Maqdis. Umar bahkan mengundang 70 keluarga Yahudi dari Tiberias untuk menetap di Baitul Maqdis. Mereka diberikan distrik sekitar Poll of Siloam di Barat Daya Haram al-Syarif. Mereka bahkan diizinkan untuk mendirikan sinagog yang dikenal sebagai the Cave. 

Ini jelas anugerah luar biasa bagi kaum Yahudi. Setelah 400 tahun lamanya mereka dilarang masuk Yerusalem, kini kaum Muslim justru memberikan jaminan keamanan kepada mereka. Tiga penganut agama samawi, Islam, Kristen, dan Yahudi, pada akhirnya bisa hidup rukun berdampingan di kota ini.

Yang menarik, saat pembebasan Baitul Maqdis itu, Khalifah Umar bin Khaththab menolak untuk shalat di Gereja Makam Kudus di area Baitul Maqdis. Tujuannya, agar kelak kaum Muslim tidak meminta konversi Gereja Makam Kudus menjadi sebuah masjid. Umar shalat di luar gereja tersebut. 

Tempat di mana Umar shalat ini kemudian didirikan masjid yang pintunya berlawanan arah dengan pintu masuk gereja Makam Kudus. Ada yang menyebut masjid tersebut adalah Masjid Jami' al-Aqsha. Ada pula yang menyebut Masjid al-Qibli.

Umar juga menyempatkan diri pergi ke tempat di mana Nabi Sulaiman AS dahulu mendirikan Masjid al-Aqsha dengan diantar Uskup Agung Sofronius. Betapa terkejutnya Umar melihat tempat itu sudah menjadi areal pembuangan sampah dengan tumpukan yang menggunung. Umar marah dan menyuruh Uskup Agung membantu membersihkan tumpukan sampah dengan tangannya sendiri. 

Setelah bersih, Umar melihat batu suci masih tertanam di tempatnya. Umar menjelaskan bahwa itulah batu yang digambarkan Rasulullah SAW sebagai tempat menjejakkan kaki saat mi'raj, atau naik ke langit ketujuh (sidratul muntaha). ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat