Senin, 23 Agustus 2021

Berdakwahlah dengan Uswatun Hasanah

Dulu, kita sering mendengar orang tua memberi nasehat kepada anaknya, "Nak, supaya hidupmu tenang, jangan campuri urusan orang lain. Jangan cari musuh. Jangan cari masalah. Hiduplah lurus-lurus saja."



Pesan seperti ini biasanya disampaikan orang tua kepada anaknya yang akan merantau. Tentu kita bisa maklum dengan isi pesan ini. Mereka --para orang tua-- merasa khawatir anak-anaknya terlibat persoalan-persoalan yang tak bisa mereka pecahkan. Mereka cemas anak-anaknya terlibat perkelahian, atau pelanggaran hukum. Mereka ingin anak-anaknya baik-baik saja ketika jauh dari mereka.

Namun, jika larangan seperti ini berlebihan, anak-anak ini bisa tumbuh menjadi sosok yang tidak peduli dengan orang lain. Mereka menjelma menjadi pemuda yang sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka tidak gelisah melihat persoalan yang mendera orang lain.

Mereka juga tak punya semangat untuk mengajak manusia berhijrah dari jalan yang bengkok ke jalan yang lurus. Singkatnya, mereka menjadi sosok yang "ingin masuk surga sendirian".

Padahal, para Nabi tidak memiliki sifat seperti itu. Lihatlah masa muda Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS). Ia gelisah melihat kehidupan orang-orang di sekitarnya --termasuk ayahnya sendiri-- yang suka menyembah berhala. Ia kerap mengajak kaumnya untuk berpikir jernih tentang penciptaan alam semesta dan ke-Mahakuasa-an Sang Pencipta. Ia menyampaikan hujjah yang sederhana, mudah dipahami, namun tak terbantahkan.

Namun, logika yang disampaikan Ibrahim AS tak membuat hati kaumnya berubah, termasuk ayahnya sendiri. Meskipun Ibrahim AS mampu membungkam mulut mereka dengan hujjah, kaumnya tetap bersikukuh di atas kekafiran. Mereka tetap saja menyembah patung-patung buatan mereka sendiri.

Lantas, apakah Ibrahim AS diam saja mendapati keadaan itu? Tidak! Ia tetap gelisah. Kegelisahannya malah semakin menjadi-jadi. Ia ingin menyelamatkan kaumnya dari pemahaman yang salah. Ia amat peduli, meskipun tahu risiko yang akan ditemuinya tak ringan.

Ibrahim AS sadar, kaumnya tak cukup diberitahu lewat lisan yang baik. Mereka perlu juga disodorkan bukti. Bukan bukti biasa, namun bukti yang bisa "memukul telak" keasadaran kaumnya. Sebab, bukti biasa sudah sering ia perlihatkan, namun tak juga membuat mereka sadar.

Lalu, terbesitlah sebuah rencana yang amat berani. Rencana itu ia susun dengan matang dan akan ia jalankan ketika Hari Raya tiba.

Hari yang dinanti tiba. Penduduk Haran dari Babilonia, tempat Ibrahim tinggal, tengah bersiap-siap menghadiri perayaan besar di kota mereka. Ibrahim AS diajak oleh keluarganya untuk menghadiri perayaan tersebut, namun ia menolak. Ia mengatakan, "Sesungguhnya aku (sedang) sakit," (Ash Shaffat [37]: 89).

Ibrahim AS sebenarnya berbohong. Menurut Dr Hamid Ahmad Ath Thahir dalam bukunya Kisah-kisah Dalam al-Qur'an, inilah kebohongan pertama yang dilakukan Ibrahim AS namun dimaklumi oleh Allah Ta'ala demi tegaknya dakwah. Semua orang berangkat ke perayaan itu kecuali Ibrahim AS. Dia malah pergi ke tempat penyembahan dengan sembunyi-sembunyi.

Sesampai di sana, Ibrahim AS menyuguhkan beberapa jenis makanan kepada tuhan-tuhan palsu tersebut. Tentu saja patung-patung itu tak bergerak.

Ibrahim AS berkata, "Mengapa kalian tidak (mau) makan?" (Ash-Shaffat [37]: 91)

Patung-patung itu tetap diam.

Lalu Ibrahim AS bertanya lagi, "Mengapa kalian tidak menjawab?" (Ash-Shaffat [37]: 92)

Patung-patung itu masih saja diam. Akhirnya, Ibrahim AS mengambil kapak dan menghancurkan patung-patung itu satu per satu kecuali satu patung yang paling besar. Ibrahim AS menaruh kapak di tangan patung tersisa tersebut.

Tak lama kemudian orang-orang pulang dan mendapati berhala-berhala sesembahan mereka hancur berantakan. Mereka berkata, "Siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sungguh dia termasuk orang yang zalim." (al-Anbiya [21]: 59).

Sebagian di antara mereka memberi informasi, "Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala ini). Namanya Ibrahim." (al-Anbiya [21]: 60).

Yang lain berkata, "(Kalau demikian) bawalah dia dengan diperlihatkan kepada orang banyak agar mereka menyaksikan." (al-Anbiya [21]: 61).

Maka Ibrahim AS pun didatangkan ke tempat pemujaan di mana orang-orang masih berkumpul. Salah seorang dari mereka berkata, "Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?" (al-Anbiya [21]: 62).

Ibrahim AS menjawab, "Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara." (al-Anbiya [21]: 63).

Orang-orang kebingungan mendengar jawaban Ibrahim AS. Begitu cepat para penyembah berhala ini dikalahkan dengan hujjah. Meskipun mereka tahu Ibrahim AS berbohong --dan ini adalah kebohongan kedua Ibrahim AS yang dimaklumi oleh Allah Ta'ala-- namun hati kecil mereka sadar bahwa pesan yang ingin disampaikan oleh Ibrahim AS benar adanya.

Mereka kemudian berkata, "Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara." (al-Anbiya [21]: 65).

Ibrahim AS menjawab, "(Lantas) mengapa kalian menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) medatangkan mudarat kepada kalian? Celakalah kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah! Tidakkah kalian mengerti?" (al-Anbiya [21]: 66-67)

Rasanya, tak ada lagi argumen yang bisa membantah bukti yang disodorkan oleh Ibrahim AS. Namun, hati manusia berada di antara jari jemari Allah Ta'ala. Sehebat apa pun ikhtiar mahluk, tetap Allah Ta'ala yang punya kehendak. Demikian pula terhadap ikhtiar yang dilakukan Nabi Ibrahim AS, Allah Ta'ala rupanya belum berkehendak memberikan hidayah kepada kaumnya, termasuk ayahnya sendiri. Justru, Allah Ta'ala berkehendak untuk menguji Ibrahim AS dengan tantangan yang lebih berat.

Ketika argumentasi tak lagi bisa dipakai oleh kaum Nabi Ibrahim AS karena selalu kalah oleh hujah Sang Khalilullah (hamba kesayangan Allah), maka tak ada jalan lain kecuali kekuatan fisik yang mereka gunakan.

Mereka berteriak kepada sesama mereka, "Buatlah bangunan (perapian) untuknya (membakar Ibrahim), kemudian lemparkan dia ke dalam api yang menyala-nyala itu." (Ash-Shaffat [37]: 97)

Yang lain juga berteriak, "Bakar dia (Ibrahim AS) dan bantulah tuhan-tuhan kalian (yang telah dihancurkan Ibrahim AS) jika kalian benar-benar hendak berbuat." (Al-Anbiya [21]: 68).

Lalu, para penyembah berhala itu membuat lubang besar dan dalam seakan hendak mengubur Ibrahim AS ke dasar bumi dan tidak berharap ia keluar lagi. Mereka semua berusaha mengumpulkan kayu bakar, memasukkannya ke dalam lubang tersebut, sampai-sampai ada seorang wanita yang sedang sakit bernazar, jika ia sembuh nanti akan ikut mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Ibrahim AS.

Kemudian mereka mengobarkan api hingga menyala-nyala seperti lidah setan. Mereka juga membuat manjaniq (alat perang zaman dulu untuk melemparkan batu besar) untuk melemparkan Ibrahim AS ke dalam kobaran api tersebut. Tak lupa, mereka mengikat tubuh Ibrahim AS untuk menghinakannya.

Inilah benturan yang harus dihadapi Ibrahim AS. Benturan ini muncul karena tindakan Ibrahim AS yang amat peduli dengan keadaan kaumnya. Namun kaumnya sendiri tak peduli dengan diri mereka sendiri.

Tindakan Ibrahim AS ini --sejak ia mulai berdakwah secara lisan hingga terpaksa membakar sesembahan para pemuja berhala ini-- bukanlah tindakan yang keliru. Sebab, jika keliru, mana mungkin Allah Ta'ala memujinya secara eksplisit dengan sebutan "uswatun hasanah" (orang yang patut dicontoh karena memiliki teladan yang baik). Hanya ada dua Nabi yang dipuji seperti itu oleh Allah Ta'ala di dalam al-Qur'an, yakni Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW.

Jadi, benturan dalam dakwah adalah sunatullah yang harus dihadapi oleh para juru dakwah. Tak perlu risau atau menyesalkan keadaan seperti itu. Tak perlu pula merasa heran bila mendapati keadaan seperti itu. Bersabarlah dan mintalah pertolongan kepada Allah Ta'ala sebagaimana dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat