Kamis, 01 Juli 2021

Perancis dan Inggris dalam Pusaran Sejarah "Israel"

Hari itu, tanggal 16 April 1799, pasukan Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte telah sampai ke Ramalah, 25 mil jaraknya dari Kota al-Quds, Palestina. Setahun sebelumnya, Perancis baru saja menyerang Mesir dan menaklukkannya dengan mudah. 

Mesir dan Syam ketika itu masih berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmani.  Hanya saja, menurut DR Muhsin Muhammad Shaleh dalam bukunya _Palestina, Sejarah, Perkembangan, dan Konspirasi_, Kekhalifahan Turki Utsmani sudah sangat lemah. Keadaan inilah yang dimanfaatkan Perancis dan Inggris untuk merebut al-Quds. 

Perancis, khususnya Sang Komandan Perang, Napoleon Bonaparte, punya kepentingan atas al-Quds atau Yerusalem.  Setidaknya ini terlihat dari pernyataan Naopelon saat hampir memasuki al-Quds, tepatnya pada 20 April 1799, atau empat hari setelah mereka memasuki Ramalah, di tengah pengepungan Kota Akka. 

Ketika itu Napoleon berkata kepada orang-orang Yahudi bahwa kini saatnya mereka merealisasikan angan-angan untuk mendirikan sebuah negara di Palestina. Ia juga berjanji akan membangun kembali Kota Yerusalem Kuno tersebut setelah berhasil mereka kuasai.

Agar cita-cita menaklukkan al-Quds atau Yerusalem bisa terwujud, Napoleon tinggal menaklukkan satu kota lagi, yakni Akka, atau biasa juga disebut Acre. Jika kota ini bisa ditaklukkan maka al-Quds bisa dikuasai dengan mudah. 

Namun, kali ini, dugaan Napoleon meleset. Mereka nyatanya tak pernah berhasil menguasai Kota Akka. Bahkan sebaliknya, mereka dipukul mundur oleh pasukan Ahmet Jazzar Pasha dari kekhalifahan Turki Utsmani.

Meskipun Perancis gagal menguasai al-Quds, namun Napoleon mencatatkan dirinya sebagai tokoh Eropa pertama yang menyerukan secara resmi dukungan kepada Yahudi untuk mendirikan sebuah negara di Palestina. Rencana Perancis menguasai Palestina ini diteruskan oleh sekutunya, Inggris, yang menjadi Negara Super Power pertama di dunia ketika perang dunia pertama meletus.

Bangsa Yahudi rupanya paham kepada siapa harus mendekat. Mereka terus melobi Inggris agar mau mendukung rencana mereka mendirikan negara Yahudi. Mereka sudah lama mengimpikan pulang ke tanah Zion yang mereka klaim sebagai "tanah yang dijanjikan Tuhan."  Saat itu mereka masih tersebar di Eropa Tengah dan Eropa Timur. 

Lobi pemuka Yahudi kepada pemerintah Inggris berhasil. Inggris berjanji akan melindungi Bangsa Yahudi yang telah bermigrasi ke Palestina. Bahkan, pada tahun 1838, Inggris membuka konsulatnya di Kota al-Quds. Tujuannya, apalagi kalau bukan melindungi bangsa Yahudi yang telah bermigrasi di sana. 

Sementara itu, gelombang migrasi Bangsa Yahudi ke Palestina semakin lama semakin banyak. Penduduk Palestina mulai merasa khawatir. Pada tahun 1891, mereka mengirim surat kepada khalifah Abdul Hamid II dari Turki Utsmani agar melarang imigrasi tersebut. Sayangnya saat itu Khilafah Utsmani sudah sangat lemah dan tak bisa berbuat banyak. 

Tahun 1896, Theodore Herzl merampungkan sebuah doktrin baru bernama Zionisme sebagai upaya mendirikan negara Yahudi Israel di Palestina.  Setahun kemudian, yakni 1897, Theodore Herzl menggelar kongres Zionis dunia pertama di Basel, Swiss. Kongres tersebut menelurkan sebuah resolusi bahwa masyarakat Yahudi bukanlah sekedar umat beragama, namun bangsa yang memiliki tekad bulat untuk hidup berbangsa dan bernegara. 

Di kongres itu, Herzl menyebut bahwa zionisme adalah jawaban bagi diskriminasi dan penindasan atas kaum Yahudi yang telah berlangsung ratusan tahun. Di depan kongres, Herzl berkata, "Dalam 50 tahun yang akan datang, negara Yahudi telah berdiri!"

Sementara itu, pada Mei 1916, berlangsung perjanjian rahasia Sykes-Picot antara Inggris dan Perancis saat perang dunia pertama sedang berkecamuk. Dalam perjanjian itu mereka membagi akses kepada wilayah jajahan. Inggris mendapat akses kepada Palestina, sedang Perancis mendapat akses ke Libanon dan Suriah. 

Pada tahun 1917, Menteri Luar Negeri Inggris yang keturunan Yahudi, Arthur James Balfour, menghubungi pemimpin Zionis Inggris, Lord Rothschild, meminta agar orang-orang Yahudi membantu mereka memerangi Jerman. Sebagai imbal balik, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour pada 2 November 1917. Isinya, menjanjikan tanah Palestina kepada kaum Yahudi sehingga mereka bisa membentuk negara sendiri, yakni negara Israel. 

Satu bulan kemudian, tepatnya pada Desember 1917, Inggris benar-benar menguasai wilayah Palestina bagian selatan dan tengah, termasuk al-Quds. Panglima perang Inggris, Allenby, sebagaimana dikutip oleh Emil al-Ghuri dalam _Filistin Ibra Sittin Aaman_, berpidato di tengah perayaan kemenangan mereka. "Sekarang peperangan Salib sudah usai." Isi pidato ini seakan-akan menyatakan bahwa tujuan akhir dari Perang Salib adalah merebut al-Quds.

Sejak saat itu Inggris membuka proyek Yahudisasi secara terorganisir di Palestina. Terjadilah migrasi besar-besaran Bangsa Yahudi dari Eropa Timur ke Palestina. Jumlahnya mencapai 40 ribu orang sepanjang kurun 1918 hingga 1923.

Inggris terus memantapkan kekuasaannya atas Palestina dengan melobi Perserikatan Bangsa Bangsa, yang kala itu masih bernama Liga Bangsa Bangsa, agar melegalkan kekuasaan mereka di tanah Kan'an itu.  Pada 24 Juli 1922 keluarlah resolusi PBB. Dengan demikian, kekuasaan Inggris atas Palestina sudah sah dengan batas waktu hingga 15 Mei 1948.

Setelah itu, gelombang migrasi Yahudi ke Palestina terus menerus terjadi, hingga pada 14 Mei 1948, atau sehari sebelum habisnya masa penguasaan Inggris atas Palestina, para pemukim Yahudi memproklamirkan secara sepihak kemerdekaan negara "Israel" (Yom Ha'atzmaut).  Proklamasi ini sejalan dengan pernyataan Theodore Herzl  pada 1896 bahwa dalam 50 tahun mendatang, negara Yahudi telah berdiri! Ini semua tak bisa dilepas dari andil Inggris dan Perancis. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat