Hampir 20 tahun lalu, pemerintah Desa Balong, desa kecil di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, menggelar rembuk desa. Ada kabar kalau desa itu telah ditunjuk oleh pemerintah Kecamatan Ujungloe untuk menjadi desa percontohan pertama penerapan peraturan daerah (perda) bernuansa syariat Islam di Kabupaten Bulukumba.
Kepala Desa Balong yang kala itu dijabat oleh Alimuddin DM bercerita kepada penulis bahwa mereka tak butuh waktu lama untuk rembuk. Semua tokoh masyarakat langsung setuju dengan rencana pemerintah kecamatan itu.
Ada empat perda bernuansa syariat yang akan disosialisasikan di desa itu. Salah satunya, perda tentang kewajiban menggunakan busana muslimah.
Singkat cerita, pada Juli 2004, Bupati Bulukumba yang saat itu dijabat oleh Patabai Pabokori, meresmikan penerapan empat perda bernuansa syariat di Desa Balong. Inilah kali pertama perda bernuansa syariat berlaku di Sulawesi Selatan, bahkan mungkin di Indonesia.
Dua bulan kemudian, penulis berkesempatan mengunjungi Desa Balong dan berdiskusi dengan kepala desa Alimuddin DM. Penulis bertanya, "Bagaimana dengan masyarakat non-Muslim yang ada di desa itu? Apakah mereka juga wajib melaksanakan perda ini?"
Alimuddin menjelaskan bahwa perda ini hanya berlaku untuk pemeluk agama Islam. Untuk mereka yang non-Muslim, perda ini jelas tidak berlaku. Mereka dipersilahkan berbusana sesuai dengan keyakinannya. Tak ada larangan buat mereka. Hanya saja, kata Alimuddin, saat itu seluruh masyarakat Desa Balong beragama Islam.
Desa Balong bukan desa besar. Luasnya 11,23 hektar dengan jumlah penduduk 2.659 orang. Sarana pendidikan hanya berupa tiga buah SD dan 1 TK. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani.
Desa Balong adalah salah satu contoh desa yang ingin tampil relijius namun tetap menjaga toleransi antar pemeluk agama yang berbeda. Tentu ada banyak desa serupa di negara ini yang juga ingin tampil relijius.
Terbukti, beberapa tahun kemudian, bermunculan daerah-daerah yang menerapkan perda bernuansa syariat. Majalah Tempo pernah mencatat, sepanjang tahun 1999 sampai 2009 ada 63 perda syariat yang telah dibuat.
Di negeri ini, masyarakat yang ingin melihat wilayahnya relijius, sebagaimana warga Desa Balong, tentu tidak salah. Bukankah UUD 1945 pasar 29 ayat 1 telah menegaskan bahwa negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa? Bukankah sila pertama Pancasila juga berbunyi demikian? Namun, tak boleh memaksakan suatu keyakinan kepada pemeluk keyakinan yang lain. Kerukunan tetap harus dijaga.
Belum lama ini merebak berita tentang siswi non Muslim di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat, yang diminta mengenakan hijab oleh pihak sekolah. Polemik ini bisa diselesaikan secara baik oleh pemerintah daerah bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat. Semua sepakat bahwa tak boleh pihak sekolah memaksa siswi non Muslim untuk mengenakan atribut agama Islam.
Namun, polemik tidak selesai sampai di situ. Beberapa hari kemudian, terbitlah SKB tiga menteri (Mendikbud, Mendagri, dan Menag) yang ditandatangani pada 3 Februari 2021 tentang seragam sekolah beratribut agama. Secara umum, SKB ini melarang pihak sekolah negeri dan pemerintah daerah ikut campur urusan seragam beratribut agama yang dikenakan siswa dan para guru. Para siswi dan guru berhak untuk menentukan pilihannya sendiri.
Terhadap SKB ini memang terasa ada yang janggal. SKB ini tidak mendukung semangat UUD 1945 yang ingin menjadikan bangsa ini relijius. Karena itu wajar bila Majelis Ulama Indonesia Pusat ikut mengkritisi terbitnya SKB ini bersama sejumlah organisasi Islam. Mereka ingin agar SKB ini direvisi atau disempurnakan.
Buya Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI, kepada Republika mengingatkan bahwa UUD 1945 pasal 29 ayat 1 menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menjadi negara yang relijius, bukan negara yang sekuler.
Karena itu seharusnya undang-undang, peraturan, dan kebijakan yang dibuat pemerintah harus didasarkan nilai-nilai ajaran agama. Para siswi harus dididik dan dibimbing untuk menjadi anak yang shaleh, bukan malah mendidik mereka menjadi sekuler.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI Pusat, KH Muhammad Cholil Nafis. Menurutnya, mewajibkan yang wajib menurut agama Islam kepada pemeluknya adalah bagian dari pembentukan karakter. Jika ini saja tidak boleh, maka aspek mendidik dari sekolah-sekolah kita ada di mana? Padahal, pembentukan karakter dimulai dari pembiasaan. Dari sinilah akan muncul kesadaran.
Di beberapa sekolah swasta, penulis melihat, pembentukan karakter relijius ini sudah terlihat. Misalnya, pihak sekolah mewajibkan siswa yang beragama Islam untuk berpakaian Muslim setiap hari Jumat. Siswa laki-laki memakai seragam takwa, sedang siswa perempuan mengenakan jilbab dan kemeja tangan panjang. Meskipun busana Muslim ini hanya dipakai sekali dalam sepekan, namun ini adalah langkah positif. Upaya-upaya seperti ini seharusnya ditumbuhkan pula di sekolah-sekolah negeri, bukan malah dikubur.
Polemik tentang SKB Tiga Menteri yang kian marak belakangan ini mengingatkan penulis pada masyarakat Desa Balong yang sederhana. Jangan sampai SKB ini justru menjadi sandungan bagi masyarakat Indonesia yang ingin melihat negeri ini lebih relijius. Jadi, ayo kita sempurnakan!
Wallahu a'lam. ***
(Dimuat oleh situs www.Hidayatullah.com pada Rabu, 24 Februari 2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat