Senin, 13 November 2017

Konsekuensi Hijrah

"Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak..." (An Nisa' [4]: 100)

 oOo

Utsman bin Affan, salah seorang Sahabat Nabi SAW, lahir dari keluarga kaya raya dan berpengaruh dari suku Quraisy. Ia bahkan tak sekadar kaya, juga terpelajar. Ia mampu membaca dan menulis sejak usia dini ketika kebanyakan anak-anak seusianya buta huruf. 

Di masa mudanya, ia telah menjadi pedagang yang sukses. Hartanya banyak. Kedudukannya sebelum memeluk Islam amat terhormat. Apalagi ia berasal dari keluarga terpandang. 

Suatu ketika Utsman memutuskaan hijrah. Ia memeluk Islam, menjadi pengikut Muhammad SAW. Padahal, ketika itu, Islam bukanlah agama yang dikenal luas. Jumlah pemeluknya masih amat sedikit. Bahkan ketika itu Islam dianggap sebagai agama pengganggu.

Namun, tekad Utsman sudah bulat. Ia memutuskan hijrah dari kekafiraan menjadi seorang Muslim. Ia tentu tahu konsekuensi atas keputusan itu amat berat. Ia harus melepas seluruh anugerah duniawi yang selama ini ia nikmati. 

Bahkan Utsman tak sekadar melakukan hijrah atas keyakinannya, namun juga hijrah dari satu lokasi ke lokasi lain. Ia termasuk sahabat yang pertama kali hijrah dari Makkah ke Habasyah atas perintah Rasulullah SAW. Konsekuensi atas hijrah tempat ini tentu lebih berat lagi.

Saat ini tuntutan hijrah sudah sering memanggil-manggil kaum Muslim di negara ini. Hijrah yang dimaksud tentu bukan hijrah lokasi tersebab tak leluasanya syariat Islam dijalankan di negara ini. Bukan itu! 

Negara ini memang tidak menjadikan Islam sebagai konstitusi negara. Namun, negara ini bukanlah negara kafir. Kaum Muslim masih leluasa menjalankan ibadah di sini. Jumlah masjid juga amat banyak. Azan masih berkumandang di setiap penjuru Nusantara.

Namun, hijrah yang dimaksud adalah berpindah dari sikap yang tak peduli kepada Islam menjadi sikap yang memihak kepada Islam.  Di negeri ini, riba masih meraja lela, makanan haram masih sulit dibedakan dengan yang halal, hijab antara laki-laki dan perempuan hampir tak ada, hiburan yang memanjakan hawa nafsu begitu banyak bahkan masuk ke rumah-rumah kita, mampukan kita hijrah dari semua itu?

Kesadaran ber-Islam sebetulnya sudah ada. Spirit membela Islam dan ulama sudah tumbuh dengan baik, terutama satu tahun terakhir. Hanya saja, kebanyakan di antara kita tak siap menerima konsekuensi ketika Islam menuntut agar kita tak sekadar ber-Islam, tapi juga berhijrah. 

Kita tak siap ketika harus kehilangan pekerjaan. Kita tak siap ketika harus kehilangan jabatan. Kita juga tak siap ketika harus meninggalkan kesenangan yang menjerumuskan atau teman yang menyesatkan. Kita juga tak siap ketika harus berhadapan dengan sanak keluarga atau orang-orang terdekat karena mereka tak mau diajak hijrah bersama kita.

Padahal, Allah SWT menjanjikan kepada orang-orang yang berhijrah, kesempatan dan rezeki yang lebih banyak, sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an surat An Nisa' [4] ayat 100. Bahkan, andai kematian menjemput kita pada saat kita sedang berhijrah, maka Allah SWT telah menetapkan pahala untuk kita.

Jadi, seharusnya, tak ada alasan lagi untuk kita ragu berhijrah. Wallahu a’lam.

(Dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi Nopember 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat