Senin, 30 Mei 2016

Menjemput Maut di Mavi Marmara

Terus terang saja, pertanyaan itu sulit sekali aku jawab. Pertanyaan seorang istri yang suaminya baru saja aku tugaskan ikut pelayaran kapal Mavi Marmara menuju Gaza, Palestina, dan tertembak tentara Israel pada Senin subuh, 31 Mei 2010.

Peluru tajam telah berputar-putar menghujam dada kanannya, menembus paru-parunya, menyerempet levernya, merobek diagfrag¬ma-nya, dan berhenti di dalam tulang panggulnya.

Sehari setelah insiden itu, tepatnya pada Selasa 1 Juni 2010, setelah memastikan bahwa insiden penyerangan tersebut memang benar terjadi, dan sang suami --- Surya Fachrizal Ginting --- belum diketahui bagaimana nasibnya setelah tertembak, aku menelepon sang isteri.

“Bagaimana keadaan Surya, Pak?” tanya suara di balik telepon. Datar, dan tak terdengar suara tangisan. Aku semakin sulit menjawabnya.  Surya telah menjemput maut di atas kapal Mavi Marmara. Apakah ia meninggal atau ditawan oleh tentara Israel?

Tiga pekan sebelum kejadian itu, tepatnya pada Jumat, 7 Mei 2010, aku memanggil Surya ke ruanganku. Ketika itu, aku telah memilih Surya dari sejumlah nama reporter Suara Hidayatullah yang harus siap ketika ditugaskan untuk liputan ke mana saja, termasuk ke wilayah konflik.

Memang begitulah kebiasaan kami. Ketika tugas datang, maka aku akan segera mengumumkannya kepada seluruh awak redaksi soal tugas tersebut. Lalu aku akan menyeleksi siapa yang paling paantas untuk ditugaskan.

Untuk tugas ikut pelayaran Mavi Marmara ini, aku telah mengantongi dua nama yang paling pas: Surya Fachrizal dan Ahmad Damanik. Keduanya aku nilai sudah piawai meliput di wilayah konflik. Keduanya juga pernah menggarap rubrik investigasi (Laporan Utama) Majalah Suara Hidayatullah.

"Apa betul antum (Anda) siap berangkat ke Gaza dengan segala risikonya?" tanyaku kepada Surya.

"Ya, pak!" jawabnya mantap.

"Apa antum betul-betul siap jika ternyata antum tak bisa kembali lagi?"

"Saya siap, Insya Allah," jelas Surya tetap mantap.

“Baiklah. Kalau begitu, saya sudah memutuskan, antum yang berangkat!”

Aku melihat senyumnya mengambang.

Beberapa hari kemudian, dalam sebuah briefing pagi, Surya berpamitan kepada rekan-rekannya di kantor. Awalnya, dalam briefing sederhana tersebut, semua awak kantor berdiri melingkar dan mendengarkan sang kepala kantor memberikan arahan apa yang harus dilakukan hari ini.

Setelah itu, sang kepala kantor mempersilahkan Surya untuk mengucapkan sepatah dua kata sebagai ucapan perpisahan sebelum berangkat ke tempat tugas. Ini juga kebiasaan kami di redaksi Kelompok Media Hidayatullah. Setiap saat, tugas ke luar kota –atau ke luar negeri-- berdatangan. Dan, setiap saat pula, acara perpisahan seperti ini selalu digelar.

Dalam kesempatan itu, Surya bercerita bahwa saat ini ia tengah merampungkan pembangunan rumah kecilnya di daerah Bekasi, Jawa Barat. Namun, pembangunan rumah itu tersendat-sendat, karena kesibukannya mencari dan menulis berita. Maklum, ia sendiri yang harus mengawasi pembangunan tersebut.

Lalu Surya berkata, jika kelak Allah SWT menakdirkan ia tak bisa kembali, mudah-mudahan Allah SWT membangunkan untuknya rumah di surga.

Aku tak hadir dalam briefing “perpisahan” itu.  Aku juga tak sempat menemui Surya hingga ia bertolak ke Turki, sebelum berlayar ikut misi kemanusiaan ke Gaza.

Aku masih sempat menerima beberapa laporan Surya selama ia berada di Turki. Bahkan, ketika kapal tersebut telah berlayar pun, aku masih bisa mengikuti perkembangan Surya dan beberapa relawan Indonesia yang berada di atas kapala itu.

Lalu, insiden penyerangan itu terjadi. Setelah itu, aku benar-benar kehilangan kontak dengan Surya. ***

(Dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2016)