"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata baik atau diam," (Bukhari dan Muslim).
Dulu kita sulit sekali memublikasikan karya tulis. Jangankan dimuat di rubrik opini koran-koran nasional, sekadar nongol di rubrik surat pembaca pun sulit. Kita merasa malas mengirimkan artikel terbaik ke meja redakasi.
Dulu kebanyakan kita hanyalah pembaca, bukan penulis. Kita penerima informasi, bukan pembuat informasi. Kita konsumen, bukan produsen.
Tapi itu dulu. Kini, setiap orang bisa menjadi penulis sekaligus mempublikasikan karyanya. Setiap orang bisa menjadi wartawan sekaligus pembaca. Bahkan, bukan sekadar karya tulis, tapi juga karya foto dan video bisa dipublikasi.
Semua itu dimungkinkan karena Allah SWT telah menganugerahkan teknologi internet kepada kita. Teknologi yang mulai banyak menyebar sejak awal 2000 ini telah membuka seluas-luasnya sekat-sekat yang dulu membatasi kita.
Hebatnya lagi, teknologi ini tak sekadar memublikasikan karya tulis yang kita buat, tapi juga memberi wadah berinteraksi dengan pembaca secara langsung. Kita bisa paham bagaimana reaksi pembaca, siapa yang sepakat dan siapa yang tidak, bahkan debat kusir pun bisa berlangsung lama di sini.
Lewat media ini seorang dai tak perlu khawatir tak memiliki podium untuk berceramah. Sebab, ia bisa dengan mudah mengunjungi publik lewat media sosial yang disediakan teknologi ini. Ia bisa menggunakan blog, email, facebook, twitter, whatsapp, dan BBM. Pendek kata, ia bisa berceramah kapan saja.
Tak bisa kita pungkiri, media "tak berkabel" ini begitu banyak membuka kesempatan kepada kita untuk berbuat baik. Lewat media ini, kita bisa membangun izzul Islam wal muslimin.
Namun, kita pun tak boleh lupa, terknologi ini juga memberi kesempatan yang tak kalah besar kepada setan untuk berbuat jahat. Bukankah terbukanya kesempatan menjadi titik lemah manusia yang tak mampu mengendalikan hawa nafsu? Seseorang bisa dengan mudah masuk perangkap setan dan sekutu-sekutunya.
Seorang perempuan, misalnya, tanpa sadar "berkhalwat" dengan seorang laki-laki lewat fasilitas chatting. Memang, mereka tidak duduk berdekatan, tidak saling melihat, tidak pula saling mendengar. Namun, materi obrolan dalam wujud untaian huruf cukuplah menjadi bukti bahwa mereka sedang intim.
Contoh lain, seseorang bisa menyebar ghibah dan fitnah hanya lewat satu ketukan enter. Atau, seseorang juga bisa membuat dan menyebarluaskan cerita-cerita yang tak perlu, atau kisah-kisah yang bisa mencederai iman, bahkan melukai akidah
Lewat internet, berita-berita yang tak jelas sumbernya dan tak pasti juga kebenarannya sangat mudah dikonsumsi. Jangankan sekadar mengetahui apakah berita-berita itu bersumber dari orang-orang fasik, identitas pembuat berita pun kita tak tahu dan sulit rasanya melakukan verifikasi (tabayyun). Padahal, tabayyun adalah perintah Allah SWT.
Belum lagi bila kita bicara asal usul suatu berita. Kita tak tahu lagi siapa orang pertama yang membuat berita tersebut. Kita tak tahu apakah berita tersebut sudah bias ketika dipublikasikan kembali oleh orang kedua, ketiga, dan seterusnya.
Ya . Kita benar-benar berada dalam belantara informasi yang lebat lagi gelap. Jika kita tak betul-betul menguasai "belantara" itu, sudah pasti kita akan tersesat, bahkan ikut menyesatkan orang lain.
Agaknya, jika kita tak benar-benar siap, diam jauh lebih baik ketimbang ikut-ikutan berceloteh atau sekadar membagi-bagi informasi. Bukankah Rasulullah SAW berpesan bahwa jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata baik atau diam?
Wallahu a'lam.