Jumat, 01 Mei 2015

Peradaban Qur`ani

Ada banyak orang baik di sekitar kita. Orang-orang yang suka menolong, berbicara santun, tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya, bertanggungjawab pada tugas, tuntas melaksanakan kewajiban, atau orang yang gemar menyayangi sesama manusia.

Orang-orang baik seperti ini bisa jadi seorang Muslim, atau bisa juga seorang non-Muslim. Bahkan, seorang yang tak beragama sekalipun, bisa saja melakukan hal-hal baik seperti tadi.

Banyak polisi non Muslim yang tak mau disogok oleh para pelanggar rambu lalu lintas. Banyak dokter non Muslim yang tak mau dibayar oleh orang-orang dhuafa saat berobat di kliniknya.

Banyak mahasiswa non Muslim yang tak pernah menyontek saat ujian atau tak mau melakukan plagiat saat membuat laporan penelitian. Bahkan, ada pemimpin non Muslim yang disiplin dalam bekerja, tak pilih kasih kepada anak buahnya, serta tegas saat mengambil keputusan.

Orang-orang baik seperti ini tentu saja disukai, dihormati, dan disegani oleh orang lain. Mereka juga amat membantu pendidikan budi pekerti masyarakat di sekelilingnya.

Namun, tentu saja nilai kebaikan mereka tak sama bila hal-hal baik tadi dilakukan oleh seorang Muslim. Meskipun apa yang mereka lakukan persis sama, namun nilai kebaikan  mereka berbeda.

Mengapa bisa berbeda? Sebab, kebaikan yang dilakukan oleh seorang Muslim memiliki landasan yang berbeda dengan kebaikan yang dilakukan oleh seorang non-Muslim.  Kaum Muslim melandaskan seluruh perbuatannya, bahkan pikirannya, kepada wahyu Ilahi. Sehingga standarnya jelas, tata laksananya jelas, dan batasan-batasannya juga jelas.

Adapun non-Muslim, lebih banyak menyandarkan perbuatannya pada logika semata. Padahal, logika bisa berbeda-beda antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, bahkan berubah-ubah seiring perjalanan waktu.

Di sisi lain, logika manusia seringkali tak sampai menyentuh hal-hal yang ghaib. Tentang Tuhan, misalnya. Siapapun manusia, beragama Islam atau bukan, jika ia mau berfikir, maka akan sampai pada kesimpumpulan bahwa Tuhan itu ada.

Allah SWT dalam al-Qur'an banyak menyeru agar manusia berpikir tentang penciptaan. Satu di antara yang mahsyur kita dengar surat ali-Imron [3] ayat 190-191, yang artinya, ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ’Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Namun, meski akal manusia menerima bahwa Tuhan itu ada, tak akan sampai pada jawaban atas pertanyaan, "Seperti apa wujud Tuhan?”

Sehebat apa pun akal manusia, pasti tak akan mengetahui jawabnya. Karena itulah, Allah SWT melarang manusia bertanya-tanya tentang hal-hal yang ghaib. Sebab, hal-hal ghaib itu hanya milik Allah SWT, sebagaimana Dia berfirman, ”Dan, pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri ...,” (al-An’am [6]: 59).

Bukan sekadar hal ghaib yang membuat logika manusia terbatas. Terhadap hal-hal yang nyata pun,  logika manusia seringkali tak sama dengan logika Allah SWT.

Soal pembagian harta warisan, misalnya. Menurut logika sebagian manusia sekarang ini, pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan sama. Ini amat berbeda dengan logika manusia pada masa jahiliah dahulu kala. Ketika itu, akal manusia menyatakan bahwa anak perempuan sama sekali tak berhak mendapat harta warisan. Bahkan, diri perempuan sendiri adalah harta yang bisa diwariskan.

Lalu logika Allah SWT berbeda berbeda dengan kedua logika manusia di atas. Anak laki-laki, menurut al-Qur'an, mendapatkan dua bagian lebih banyak dari anak pe-rempuan, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an surat an-Nisa [4] ayat 11, yang artinya, ”Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”

Begitu juga masalah kepemimpinan. Logika sebagian manusia mengatakan, tak akan ada masalah bila perempuan dijadikan pemimpin bagi kaum laki-laki. Sebab, laki-laki dan perempuan itu setara. Istilah populernya adalah kesetaraan gender.

Tapi, logika Allah SWT berbeda. Allah SWT menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an surat An-Nisa [4] ayat 34, yang artinya, ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Oleh karena itu Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) ...”

Para ulama menafsirkan ayat ini sebagai larangan bagi kaum perempuan memimpin kaum laki-laki. Sejumlah Hadits juga menegaskan hal tersebut, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, yang berbunyi, ”Tiada akan berbahagia suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada perempuan.”

Bahkan logika Nabi SAW pun bisa keliru. Cerita bagaimana Rasulullah SAW memperlakukan tawanan perang Badar, misalnya. Dikisahkan bahwa setelah memperoleh kemenangan besar di perang tersebut, Rasulullah SAW meminta pendapat kepada kedua sahabatnya Abu Bakar RA dan Umar bin Al-Khaththab RA tentang apa yang sebaiknya dilakukan terhadap para tawanan.

Abu Bakar RA menjawab, para tawanan tersebut sebaiknya dibebaskan saja dengan meminta sejumlah tebusan. Namun Umar RA, berpendapat lain. Para tawan tersebut, menurut Umar RA, lebih baik dibunuh saja.

Rasulullah SAW kemudian cenderung kepada pendapat Abu Bakar. Namun, Allah SWT rupanya membenarkan pendapat Umar RA dengan menurunkan surat al-Anfal [8] ayat 67-69, yang artinya, ”Tidaklah pantas bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi...”

Memang, kebaikan yang universal itu ada. Bahkan, binatang pun seringkali melakukannya. Coba perhatikan bagaimana induk binatang mencari tempat yang aman bagi anak-anaknya. Mereka juga mencarikan makan, dan sesekali menjilati anak-anaknya sebagai ungkapan kasih sayang. Mereka akan marah bila ada yang coba-coba mengganggu anak-anaknya.

Kebaikan yang dilakukan binatang ini bukan karena mereka punya akal, melainkan karena mereka punya insting. Binatang yang tak memiliki akal tentu tak bisa melakukan kebaikan lebih dari sekadar insting. Anak-anak binatang tentu tak bisa bersikap hormat dan santun kepada induknya.

Kebaikan yang dilakukan karena akal tentu lebih bernilai ketimbang kebaikan yang sekadar didasarkan pada insting. Hanya manusia yang bisa melakukan kebaikan berdasarkan akal.

Namun, akal saja tak cukup. Manusia perlu bimbingan wahyu untuk menyempurnakan kebaikannya. Wahyu Ilahi akan menuntun logika manusia yang terkadang tak sanggup menjangkau hal-hal ghaib, atau keliru menyikapi hal-hal yang nyata.

Dan, tentu saja, wahyu tak akan berpengaruh apa-apa pada diri manusia tanpa iman.  Wahyu tanpa iman akan menjelma menjadi kepura-puraan. Ia akan rapuh.

Imanlah yang akan mengubah manusia dengan bimbingan wahyu yang tertulis dalam kitab al-Qur'an dan kitab-kitab Hadits Rasulullah SAW. Sedangkan iman yang termanifestasikan dengan amal perbuatan akan mewujud menjadi sebuah peradaban.

Dan, peradaban yang didasarkan atas wahyu adalah peradaban yang paling sempurna. Jauh lebih sempurna ketimbang peradaban-peradaban lain yang semata didasarkan atas akal.

Peradaban Barat yang kini diagung-agungkan dan menjadi kiblat banyak ne-gara, memang ada kebaikannya. Mereka terlihat lebih modern, lebih profesional, dan lebih maju. Begitu juga peradaban Timur, mereka terlihat lebih disiplin, lebih teliti, dan lebih sungguh-sungguh.

Namun, dasar mereka lemah, pondasi mereka rapuh. Peradaban yang dibangun oleh Rasulullah SAW berdasarkan wahyu Ilahi jauh lebih sempurna dan kokoh. Itulah peradaban Islam.

Lalu, bagaimana membangun kembali peradaban Islam yang telah terbukti ung-gul di masa lalu itu? Bagaimana pula membangkitkan kembali kesadaran umat Islam akan unggulnya peradaban wahyu ini di tengah hantaman peradaban lain yang seolah-olah hebat?

Jawabnya, tak ada jalan lain kecuali kita harus kembali kepada sistematika wahyu yang diajarkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Kita harus mengikuti kembali jejak langkah Rasulullah SAW, bukan sekadar saat beliau menerima wahyu hingga beliau wafat, namun sejak sebelum itu.

Cara inilah yang sekarang diterapkan oleh Hidayatullah sebagai sebuah al-Harokah al-Jihadiyah al Islamiyah.

Wallahu a’lam bishawab