Jumat, 09 September 2011

Kesejahteraan Rakyat Tanggungjawab Pemerintah

“Barang siapa mati meninggalkan hutang, atau meninggalkan keluarga (yang tidak mampu) maka datanglah kepadaku dan (itu) menjadi kewajibanku,” (Riwayat Muslim).

Pertengahan Juli lalu pengelola Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Garut, Jawa Barat, kebingungan. Pasalnya, jumlah rakyat miskin yang menunggak hutang di rumah sakit tersebut bertambah banyak. Nilainya mencapai Rp 21 miliar.
Seharusnya tunggakan tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Namun, pemerintah daerah rupanya sudah tak mampu lagi membayarnya. Akhirnya, pada 15 Juli, RSUD Garut terpaksa menghentikan program jaminan kesehatan daerah untuk pasien miskin.
Hal serupa juga terjadi di RSUD Ciamis, Jawa Barat. Hingga Mei 2011, sejak pemerintah daerah tak lagi menyubsidi penuh biaya pengobatan masyarakat miskin di sana, jumlah tunggakan mencapai Rp 63 juta. Jumlah ini bertambah 50 persen dari bulan sebelumnya, April, Rp 45 juta.
Ini baru kejadian di Garut dan Ciamis. Di daerah lain kondisinya tentu tak jauh berbeda bila kita menilik data jumlah masyarakat miskin di Indonesia versi pemerintah, yaitu 30,02 juta orang (Maret 2011).
Bahkan, jumlah ini bisa bertambah berlipat-lipat bila kita menyimak definisi rakyat miskin menurut pemerintah, yaitu rakyat yang berpengeluaran per bulan Rp 211.726 atau kurang. Manalah cukup penghasilan sebesar itu untuk membayar ongkos berobat ke rumah sakit.
Gambaran tadi menunjukkan bahwa pemerintah kita tak mampu memenuhi salah satu kebutuhan mendasar rakyatnya, yaitu kesehatan. Belum lagi jaminan sosial lainnya seperti dana pensiun dan jaminan hari tua.
Padahal, amanat UUD 45 pasal 34 jelas-jelas menyebutkan bahwa negaralah yang berkewajiban memberi jaminan sosial kepada masyarakat.
Pemerintah sebenarnya sudah membuat solusi untuk mengatasi persoalan ini. Pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Sayangnya, solusi ini hanya mengalihkan tanggungjawab dari pemerintah kepada masyarakat. Lewat sistem ini seluruh masyarakat Indonesia diwajibkan membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase upah. Bagi masyarakat yang benar-benar tidak mampu, iurannya akan dibayarkan oleh APBN.
Dana masyarakat yang terkumpul ini --- yang jumlahnya ditaksir mencapai Rp 50 triliun bila diperkirakan rata-rata membayar Rp 18 ribu--- kemudian diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan asuransi. Jadi, perusahaan asuransi inilah yang bertanggung jawab memberikan jaminan sosial kepada masyarakat.
Muncul pertanyaan besar di benak kita, apa benar pemerintah sudah tak mampu lagi membayar ongkos jaminan sosial untuk masyarakat miskin? Bukankah selama ini seluruh lapisan masyarakat, termasuk rakyat miskin, sudah dibebani pajak? Bukankah Indonesia memilki banyak sumberdaya alam yang bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran takyat? Rasanya aneh bila semua itu belum cukup.
Pemerintah sepertinya belum maksimal mengelola segala potensi negara. Pemerintah juga gagal memberantas segala penyimpangan atas pengelolaan pendapatan yang nilainya tak sedikit.
Dan, sayang sekali, kegagalan ini diatasi oleh pemerintah dengan cara mewajibkan masyarakat membayar iuran untuk jaminan kesejahteraan mereka sendiri.
Padahal di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jangankan rakyat miskin yang masih hidup, yang sudah mati pun tetap dipenuhi hak-hak jaminan sosialnya.
Wallahu a’lam.

Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat