Minggu, 24 Agustus 2025

Perang Qadisiyyah dan Nahawand

Setelah Rasulullah saw. wafat pada tahun 632 M, pasukan Muslim --selain berupaya membebaskan Negeri Syam dari cengkeraman Romawi Timur-- juga menjalankan ekspedisi ke wilayah Irak, yaitu perbatasan barat Kekaisaran Persia, dipimpin oleh Khalid bin Walid.

Dalam waktu singkat (633 M), Khalid memenangkan serangkaian pertempuran melawan Persia dan sekutu Arab, yakni dalam Perang Kazimah (Kazimah/Kadhima), Perang Mazar, Perang Walaja, Perang Ullais (Jisr al-Ullais), dan pengepungan al-Hirah, kota penting di Irak.

Pada perang Walaja, Khalid menerapkan taktik “double envelopment”, mirip taktik Hannibal di Cannae. Sedang pada pengepungan al-Hirah, musuh akhirnya menyerah tanpa perlawanan berarti. Kemenangan di Walaja dan Ullais ini membuka jalan bagi kaum Muslim untuk masuk ke Qadisiyyah, dekat Kufah (Irak sekarang). 

Namun, tahun 634, ancaman Romawi Timur (Byzantium) di Syam semakin besar. Khalifah Abu Bakar memanggil Khalid untuk memimpin pasukan di Syam. Khalid bergerak cepat meninggalkan wilayah Persia melewati padang pasir gersang dan bergabung bersama pasukan Muslim yang tengah bertempur di Yarmuk. Kisah perjalanan Khalid melewati padang pasir gersang yang legendaris ini dikenal dengan “March of Khalid”.

Sejak itu, komando perang di Irak melawan Persia diserahkan kepada Musanna bin Haritsah, lalu di masa kekhalifahan Umar bin Khaththab dialihkan kepada Sa’d bin Abi Waqqash. Tahun 636 M, meletuslah Perang Qadisiyyah. Jumlah pasukan Muslim kala itu diperkirakan sekitar 30 ribu orang. Sedang pasukan Persia, di bawah pimpinan panglima besar Rustum Farrokhzad, tampil dengan 60 ribu sampai 120 ribu pasukan, dilengkapi juga dengan sejumlah gajah perang. Perbandingan kekuatan dua pasukan jelas tak imbang.

Perang berlangsung sengit selama empat hari. Pada hari Pertama (yaum al-Armath/hari kegoncangan), Persia menyerang dengan gajah perang. Kuda-kuda pasukan Muslim panik. Pasukan Muslim terdesak, tetapi tetap bertahan. Malam harinya, kaum Muslim mengatur strategi: pasukan pemanah diperintahkan menyerang mata gajah untuk melumpuhkan mereka.

Hari kedua (yaum al-Aghwath/hari pertolongan), pertempuran semakin sengit. Pasukan Muslim berhasil melumpuhkan beberapa gajah, membuat barisan Persia mulai kacau. Pasukan Muslim tetap bertahan walau belum menang mutlak.

Hari Ketiga (yaum al-‘Amats/hari kegelapan), pertempuran berlangsung siang hingga malam, bahkan hingga gelap gulita. Pasukan Muslim sempat hampir kalah karena gajah Persia menyerbu lagi. Namun, seorang pahlawan pasukan Muslim, Qa’qa’ bin ‘Amr at-Tamimi, datang membawa bala bantuan. Ia menggunakan taktik memecah pasukan kecil datang bergelombang, sehingga musuh mengira terus datang pasukan baru. Moral pasukan Muslim bangkit kembali.

Hari keempat (yaum al-Qadisiyyah/hari penentuan), pasukan Muslim mulai fokus menyerang gajah Persia hingga seluruhnya lumpuh. Setelah gajah jatuh, barisan Persia porak poranda. Rustum, panglima Persia, tewas di medan perang setelah terjatuh ke sungai dan dibunuh oleh pasukan Muslim. Persia mengalami kekalahan telak.

Kemenangan ini membuka jalan bagi pasukan Muslim untuk bergerak menuju Mada’in (Ctesiphon), ibu kota Persia. Pasukan kaum Muslim bergerak ke arah timur. Mereka menundukkan kota-kota kecil satu per satu hingga akhirnya tiba di tepi Sungai Tigris, yang kala itu tengah meluap deras.

Di seberang sungai berdirilah Mada’in, ibu kota megah Persia. Dari kejauhan tampak Istana Putih (al-Qasr al-Abyad), simbol kejayaan ribuan tahun dinasti Sasaniyah. Pasukan Persia telah mundur ke seberang sungai, berharap arus deras akan menjadi benteng alami yang tak tertembus.

Para prajurit Muslim tertegun. Bagaimana menyeberangi sungai sebesar itu dengan ribuan pasukan dan kuda? Sebagian merasa ragu. Namun panglima besar, Sa’d bin Abi Waqqash, berdiri tegak lalu berseru, “Wahai pasukan Islam! Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sungai ini tidaklah lebih menakutkan daripada daratan. Allah yang menolong kita di Qadisiyyah, Dialah yang akan menolong kita menyeberanginya!”

Dengan penuh keyakinan, pasukan Muslim menceburkan kuda mereka ke dalam arus deras. Riwayat menyebutkan, kuda-kuda itu seakan berjalan di atas air, stabil meski arus menggila. Seorang sahabat meriwayatkan, “Demi Allah, kami menyeberangi Tigris itu seakan berjalan di atas tanah datar. Air mengalir di bawah kaki kuda kami, sementara kami membaca takbir dan tahmid.”

Di tepi seberang, pasukan Persia yang menyaksikan pemandangan itu dilanda ketakutan luar biasa. Mereka berkata satu sama lain, “Singa-singa padang pasir ini tak dapat ditahan oleh air sekalipun. Bagaimana kita bisa menahan mereka di daratan?”

Ketika pasukan Muslim mencapai tepi seberang, barisan Persia kocar-kacir. Raja Persia, Yazdegerd III, melarikan diri ke Hulwan, meninggalkan istana megah dan harta kekayaan tak terhitung. Kaum Muslim memasuki Mada’in dengan penuh takbir. Istana Putih yang megah, simbol kekuasaan 400 tahun Sasaniyah, kini (637 M) berada dalam genggaman mereka.

Setelah ibu kota Mada’in (Ctesiphon) jatuh, sisa pasukan Persia mencoba berkumpul kembali. Raja Yazdegerd III (raja terakhir Sasaniyah) memerintahkan mobilisasi besar-besaran untuk merebut kembali wilayah yang jatuh ke tangan kaum Muslim. Persia berhasil mengumpulkan sekitar 150.000 pasukan di Nahawand (Iran barat).

Kaum Muslim mengirim sekitar 30 hingga 40 ribu pasukan di bawah pimpinan Nu‘man bin Muqarrin al-Muzani. Nu‘man menggunakan taktik tipu daya: pura-pura mundur. Pasukan Persia menyangka pasukan Muslim lemah, lalu keluar dari benteng untuk mengejar. Begitu Persia keluar, pasukan Muslim segera berbalik menyerang.

Pertempuran sengit berlangsung. Nu‘man bin Muqarrin gugur di tengah pertempuran, tetapi sebelum wafat ia mewariskan komando kepada saudaranya Hudzaifah bin Muqarrin. Pasukan Muslim berjuang mati-matian untuk menjaga moral tetap tinggi meskipun panglima gugur. Sebaliknya, pasukan Persia kehilangan posisi bertahan karena keluar dari benteng. Akhirnya, pasukan Muslim berhasil mengepung dan menghancurkan pasukan Persia.

Kemenangan pasukan Muslim ini kerap disebut Fath al-Futuh, artinya “Kemenangan dari segala kemenangan”. Terlebih setelah kemenangan ini, pintu penaklukan seluruh wilayah Persia hingga ke timur terbuka lebar. Kekaisaran Sasaniyah runtuh total beberapa tahun kemudian (651 M), ketika Raja Yazdegerd III terbunuh di Merv. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat