Pada tahun ke-6 Hijriah, atau tahun 628 M, Rasulullah saw bersama sekitar 1.400 sahabat berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk menunaikan umroh. Ini adalah kali pertama Rasulullah saw berencana pulang kembali ke Makkah setelah 6 tahun hijrah ke Madinah.
Namun, sesampainya di sebuah tempat bernama Hudaibiyah, di pinggiran kota Makkah, kaum Quraisy menghadang rombongan kaum Muslim tersebut. Mereka rupanya menolak memberikan izin masuk kepada Rasulullah saw. dan para sahabat
Lalu terjadilah negosiasi panjang antara utusan Quraisy dengan Rasulullah saw. yang berujung pada Perjanjian Hudaibiyah. Kesepakatan utama dalam perjanjian itu adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Perjanjian lainnya, di antaranya, larangan kepada kaum Muslim di Makkah untuk lari ke Madinah. Jika ada, maka harus dikembalikan ke Makkah. Sebaliknya, bila ada Muslim yang murtad di Madinah dan pulang ke Makkah, maka tak harus dikembalikan.
Sejak hijrah pada tahun 622 M hingga disepakatinya perjanjian Hudaibiyah, kaum Muslim di Madinah dan kaum kafir Quraisy telah beberapa kali berperang. Di antaranya yang terbesar adalah Perang Badar (624 M), Perang Uhud (625 M), dan Perang Khandaq (627 M). Tahun 630 M, Rasulullah saw bersama 10 ribu pasukannya menyerbu Makkah dan membebaskan negeri itu (Fathu Makkah) dari kesyirikan setelah kaum kafir Quraisy mengingkari perjanjian Hudaibiyah.
Masa gencatan senjata dari perjanjian Hudaibiyah --meskipun realitasnya hanya berumur 2 tahun-- dipergunakan oleh Rasulullah saw. untuk melakukan konsolidasi dan memperluas cakupan dakwah ke luar Makkah dan Madinah. Beliau berkirim surat berisi ajakan kepada para penguasa di sekitar Madinah agar memeluk Islam, termasuk dua imperium besar: Persia dan Romawi.
Kita putar sedikit waktu ke belakang, yakni pada tahun 622 M. Ketika itu pasukan Persia tengah mendesak pasukan Romawi --termasuk Heraklius, kaisar Romawi-- di Konstantinopel. Rupanya, pasukan Persia kesulitan menembus benteng Konstantinopel yang begitu kuat. Meskipun telah dikepung dari berbagai sisi, benteng tersebut tidak mampu ditembus juga.
Di saat inilah Heraklius membuat keputusan amat berani. Tahun 622 M, ia dan sejumlah pasukan inti berhasil keluar dari kepungan Persia, meninggalkan benteng Konstantinopel, pergi ke Asia Kecil (Anatolia), lalu ke Kaukasus. Di sana, Heraclius membangun aliansi dengan suku-suku Kristen lokal (Armenia, Gorgia, dan Khazaria)
Setelah merasa kuat, Heraklius dan pasukannya menyerang jantung Persia dari arah utara -- jalan yang tidak dijaga ketat oleh Persia. Strategi ini mirip seperti "serangan balik dari sayap" pada pertandingan sepak bola. Persia tidak menduganya karena sibuk mengepung bagian barat. Penyerangan ini berlangsung sekitar tahun 624 M, atau dua tahun setelah Rasulullah saw. hijrah dari Makkah ke Madinah.
Tahun 625, Persia menyerang kembali Konstantinopel yang sudah terkepung dengan bantuan sekutu Avar dan Slavia. Penyerangan ini berlangsung hingga tahun 626 M dengan harapan Heraklius dan pasukannya akan kembali ke Konstantinopel untuk membantu menyelamatkan kota tersebut
Tapi Heraklius tetap tidak kembali ke ibu kota. Rakyat Konstantinopel bertahan dengan heroik, dibantu armada laut yang menghalau pasukan gabungan Persia-Avar dari Selat Bosphorus, sementara Heraklius tetap menyerang di wilayah Persia. Rupanya dia percaya serangan ke jantung lawan lebih penting daripada bertahan.
Puncaknya terjadi pada tanggal 12 Desember 627. Heraklius memimpin pasukan melawan Persia dalam Pertempuran Nineveh di dekat ibu kota Persia, Ctesiphon. Pasukan Persia yang dipimpin oleh jenderal Razates berhasil dikalahkan. Pasukan Persia panik dan mundur ke ibukota.
Dalam keadaan terjepit itulah datang utusan Rasulullah saw. bernama Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi menghadap Kisra II Parviz (Khosrow Parviz/Khusraw ParwÄ“z), raja besar Persia dari dinasti Sasaniyah. Kisra sendiri sebenarnya adalah gelar raja Persia. Nama sebenarnya adalah Abrawiz bin Hurmuz bin Syirwan. Dia telah berkuasa selama 48 tahun (590–628 M). Ia dikenal sebagai raja yang mewah, tapi juga keras, diktator, dan gemar berperang.
Abdullaah membawa surat dari Rasulullah saw. Isinya seperti ini:
Bismillahirrahmanirrahim.
Dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Kisra penguasa rakyat Persia. Salam bagi yang mengikuti petunjuk dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah yang tunggal, tiada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad hamba-Nya dan Rasul-Nya. Aku mengajak dengan seruan Allah. Sesungguhnya aku adalah Rasul Allah kepada seluruh umat manusia supaya dapat memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pasti ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir.
Masuklah Islam, kamu akan selamat. Bila kamu menolak, sesungguhnya kamu memikul dosa kaum Majusi.
Setelah Kisra selesai membaca surat Nabi saw., ia marah. Surat itu langsung dirobek-robek dan dicampakkannya seraya berkata dengan penuh hinaan, "Siapakah orang itu yang mengajak aku menganut agamanya serta menuliskan namanya sebelum namaku?"
Setelah itu ia memerintahkan pengawalnya untuk mengantongi seonggok pasir dan menyerahkannya kepada Abdullah bin Hudzaifah untuk diteruskan kepada Nabi saw. sebagai bentuk penghinaan. Tak sekadar itu, Abdullah juga diusir secara kasar dari istana.
Abdullah kembali pulang dan melaporkan semua peristiwa yang menimpanya kepada Nabi saw. Nabi saw. berkata, "Semoga Allah merobek-robek kerajaannya sebagaimana dia merobek-robek suratku. Dia mengirimkan sekantong pasir kepadaku dan kalian nanti akan menguasai seluruh tanah negerinya."
Di kemudian hari, apa yang diungkapkan Rasulullah saw ini menjadi kenyataan. Setelah pasukan Persia kalah melawan Romawi pada Nineveh (Irak Utara) akhir tahun 627 M, Khosrow II lari ke istananya di kota Ctesiphon atau dalam bahasa Arab disebut Mada’in. Sialnya, di istana saat itu tengah terjadi pemberontakan internal oleh putranya sendiri, Syirawih atau Kavadh II. Khosrow ditangkap, lalu beberapa hari kemudian dibunuh oleh Syirawih
Mengapa Persia berhasil didesak oleh Romawi padahal sebelumnya mereka mencapai puncak kejayaan dengan menaklukkan Yerusalem (614 M) dan bahkan hampir merebut Konstantinopel? Ini karena mereka kehabisan tenaga melewati peperangan yang panjang melawan Bizantium. Ekonomi mereka hancur, rakyat terbebani pajak, dan muncul banyak pemberontakan.
Selain itu, Khosrow Parviz gemar menyingkirkan lawan politik dengan kejam, termasuk para bangsawan, sehingga banyak keluarga kerajaan sendiri yang dendam. Putra Kisra, Syirawih telah lama melihat tindakan zalim ayahnya. Para bangsawan pun mendorong Syirawih untuk bertindak.
Pada tahun 628 M, Syirawih mengadakan kudeta. Ia menangkap ayahnya dan memenjarakannya. Setelah beberapa hari, ia memerintahkan pembunuhan terhadap Kisra II. Dalam riwayat, Kisra dibunuh dengan cara disiksa sampai mati di dalam penjara.
Setelah Syirawih naik takhta dengan gelar Kavad II (628 M), ia langsung mengadakan perjanjian damai dengan Heraklius karena Persia sudah tidak sanggup melanjutkan perang. Dalam perjanjian itu, Persia mengembalikan semua wilayah Romawi yang direbutnya, termasuk Yerusalem dan salib suci (True Cross) yang dulu dirampas dari umat Kristen.
Jadi, Persia tidak sampai menjadi negara bawahan (vassal state) Romawi. Mereka tetap kerajaan merdeka. Tapi posisi tawar Persia jatuh drastis. Mereka terpaksa mengakui kemenangan Heraklius dan menarik pasukan dari semua wilayah jajahan.
Syirawih tak lama memerintah, hanya beberapa bulan saja. Ia terkena wabah (plague) dan wafat. Sebelum meninggal, ia membunuh hampir semua saudara laki-lakinya (putra-putra Kisra II) agar tak merebut takhta. Akibat semua insiden ini, Dinasti Sasaniyah terjerumus dalam kekacauan politik. Raja berganti-ganti dengan cepat, hingga akhirnya Persia runtuh dalam gelombang penaklukan Islam pada pertengahan abad ke-7. Ini semua membuktikan apa yang dikatakan Rasulullah saw. itu benar. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat