Manusia, ketika diserang, cenderung bertahan. Tak mau langsung menyerah. Bahkan, jika mereka merasa berada di atas angin, mereka akan melawan.
Lalu bagaimana jika hati dan pikirannya yang diserang? Sama! Manusia akan bertahan. Karena itulah, tak mudah mengubah pendirian seseorang. Ia akan bertahan, meskipun kehabisan alasan.
Beruntunglah manusia yang dianugerahi akal oleh Allah Ta'ala dan dengan akal tersebut ia gunakan untuk menelaah "serangan" yang datang kepadanya. Apakah "serangan" tersebut masuk akal?
Ia tak buru-buru menolak "serangan" tersebut meskipun bertentangan dengan pendapatnya semula. Ia telaah terlebih dahulu dengan hati yang jernih. Ia analisa dengan informasi-informasi yang sebelumnya telah tersimpan di kepalanya.
Jika semuanya masuk akal maka manusia yang hatinya lembut akan menerimanya sebagai sebuah kebenaran. Sebaliknya, jika tak masuk akal, maka ia akan terus bertahan dengan pendapatnya semula.
Namun, tidak semua manusia seperti itu. Banyak manusia yang justru berhati keras. Meskipun akalnya telah mengakui kebenaran yang datang padanya, hatinya seringkali belum. Ia tetap bertahan dan berusaha membohongi akalnya. Mengapa manusia bisa begitu?
Sebab, boleh jadi ada kepentingan yang menghijab hatinya. Ada hawa nafsu yang tak mampu ia kendalikan sehingga membuat hatinya buta. Atau, ada rasa dengki sebagaimana dengkinya iblis kepada Adam as ketika Allah Ta'ala memintanya bersujud kepada "ciptaan baru" yang disebutnya "kurang sempurna" ini.
"Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia dari tanah," kata Iblis memberi alasan mengapa ia tak mau sujud kepada Adam as, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta'ala dalam surat al-A'raf [7] ayat 12. Meskipun alasan tersebut telah dipatahkan oleh Allah Ta'ala, namun iblis tetap bertahan dengan kesombongannya.
Sesungguhnya, pertarungan antara yang haq dan yang bathil akan selalu ada di muka bumi. Keduanya saling serang dan bertahan. Bahkan, ketika teknologi informasi telah memudahkan siapa saja untuk berkomunikasi, pertarungan antara keduanya kian dahsyat, terbuka dan ramai.
Logikanya, pertarungan antara haq dan bathil tak akan imbang. Artinya, kebenaran akan mudah memadamkan kebathilan. Sebab, fitrah manusia tentu condong kepada yang haq. Allah Ta'ala telah berfirman, "Kebenaran telah datang dan yang bathil telah lenyap. Sungguh, yang bathil itu pasti lenyap," (al-Isra' [17] ayat 81)
Tapi, mengapa pertarungan tersebut justru semakin seru dan seperti tak ada ujungnya? Mengapa pula jumlah penghuni neraka pada akhirnya jauh lebih banyak ketimbang jumlah penghuni surga?
Jawabnya, karena sifat bertahan manusia tadi. Lihatlah Abu Sufyan dan Abu Jahal. Keduanya orang pintar namun tak pernah bisa membantah kebenaran risalah yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Keduanya tetap bertahan dengan kekafirannya hanya karena alasan Rasulullah saw telah merusak tatanan lama yang dibawa oleh nenek moyang mereka.
Beruntunglah Abu Sufyan diselamatkan oleh Allah Ta'ala sebelum ajal datang menjemputnya. Sebaliknya, celakalah Abu Jahal yang tetap bertahan dengan kekafirannya.
Bertahan tentu tak selamanya buruk. Bertahan kepada kebenaran tentu saja mulia. Seseorang yang bergeming dengan segala godaan dan rayuan untuk meninggalkan kebenaran, sudah pasti baik. Ia berhasil mengekang hawa nafsunya sehingga bertahan kepada kebenaran.
Lalu di mana letak kuncinya? Jawabnya ada pada firman Allah Ta'ala surat Ali 'Imran [3] ayat 101. "Dan bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan rasul-Nya (Muhammad) pun berada di tengah-tengah kamu? Barang siapa berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sungguh, dia diberi petunjuk kepada jalan yang lurus."
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat