Laman

Jumat, 12 Desember 2025

Siklon Tropis dan Perangai Manusia

Saya tak ingat apakah dulu ketika mengikuti mata kuliah Oseanografi yang diampu oleh Dr John I Pariwono --salah seorang pemateri pada seminar kelautan yang diselenggarakan Monash University-- pernah menjelaskan soal siklon tropis?


Mungkin saja ya. Namun, ketika beliau menjelaskan soal itu, barangkali saya sedang tidak berada di ruangan, atau mungkin sedang mengantuk sehingga tak konsentrasi mengikuti materi beliau.

Belakangan istilah siklon tropis mulai ramai dibicarakan. Bahkan, ia dianggap sebagai salah satu biang kerok terjadinya bencana ekologi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. 

Lalu mahluk apa sebenarnya siklon tropis ini? Mari kita cari tahu!

Secara sederhana siklon tropis bisa disebut badai, atau topan. Ia terkait erat dengan laut dan fenomena alam di atasnya.

Awalnya, ia muncul karena air laut yang hangat, naik (menguap) ke atmosfir, membentuk awan. Naiknya uap air tersebut menyebabkan tekanan udara di bagian bawahnya menjadi rendah.

Tekanan yang rendah mengundang angin dari luar mengalir masuk. Maklum, angin memang selalu bertiup dari wilayah bertekanan udara tinggi ke wilayah bertekanan udara rendah.


Angin yang masuk ini kemudian terkena coriolis effect, yakni pengaruh rotasi bumi, sehingga berbelok. Di belahan bumi utara, angin berputar berlawanan arah jarum jam, sedang di belahan bumi selatan, angin berputar searah jarum jam.

Hasil pembelokan dan perputaran ini membentuk pusaran besar. Pusaran ini terus bertambah kuat karena ada sumber energi dari laut yang panas. Bahkan, panas ini semakin lama semakin bertambah. Sebab, uap yang naik kemudian berkondensasi (mendingin dan mengembun). Proses kondensasi ini lagi-lagi menghasilkan panas, meyebabkan uap udara semakin banyak yang naik, tekanan udara semakin rendah, dan angin semakin keras mengalir ke pusat. 

Tentu saja fenomena angin yang berputar ini tidak melulu menghasilkan badai. Ia bisa menjadi gangguang cuaca biasa (disturbansi tropis), bisa juga menimbulkan depresi tropis (angin yang bertiup di bawah kecepatan 63 km/jam).

Jika kecepatan angin yang ditimbulkannya mencapai 63–118 km/jam maka ia dinamakan badai tropis. Dan, jika melaju dengan kecepatan lebih dari 119 km/jam, maka ia dinamakan siklon tropis.

Siklon tropis, selain menyebabkan angin yang bertiup sangat kencang, juga menimbulkan gelombang laut yang tinggi, disertai hujan yang sangat lebat dan awan yang berputar-putar.

Hujan lebat dan gelombang laut yang tinggi inilah yang kerap menyebabkan banjir dan tanah longsor ketika menyapu daratan. Pada kasus banjir di Sumatera belakangan ini, badai siklon tropis telah meluluhlantahkan pemukiman warga, terutama di wilayah dekat aliran sungai.

Tapi yang menarik, siklon tropis sebenarnya tak pernah terjadi di wilayah yang dilewati khatulistiwa. Indonesia, salah satunya.

Lantas mengapa kali ini badai yang disebabkan oleh menghangatnya suhu laut ini justru menerjang Sumatera dan mengakibatkan hampir seribu orang meninggal dunia dan mungkin puluhan ribu lainnya kehilangan harta dan rumah tinggal?

Ya, siklon memang terbentuk di luar ekuator, kira-kira pada lintang 5-20 derajat, bukan 0 derajat (khatulistiwa). Pada peristiwa banjir besar di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh beberapa waktu lalu, pusat siklon sebenarnya berada di Samudera Hindia bagian utara, tepatnya di Selat Malaka/Laut Andaman, sekitar laut utara Sumatera.

Siklon ini ---yang kemudian dinamakan Senyar-- membawa awan tebal dan curah hujan ekstrem selama beberapa hari. Ketika curah hujan ekstrem ini menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, sistem sungai tak sanggup menampungnya. 

Apalagi hutan di wilayah tersebut banyak yang rusak. Data dari Greenpeace Indonesia menyebutkan hutan alam yang tersisa di Pulau Sumatera kini kurang dari 30 persen dari total luas pulau. Akibatnya, kemampuan tanah untuk menyerap air menurun drastis. Air semakin banyak menuju sungai. Bencana pun tak bisa dielakkan.

Andai manusia tidak serakah merusak hutan, bencana banjir tak akan separah ini.  Perangai manusia telah menyebabkan keseimbangan alam terganggu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat