Laman

Rabu, 23 Juli 2025

Tantangan Dakwah di Suku Taa Wana

Ini adalah kelanjutan dari kisah sebelumnya berjudul Seratus Rumah Untuk Suku Taa Wana. Dalam kisah sebelumnya digambarkan bagaimana Ust Muhaimin "ditantang" oleh Kepala Suku Wana untuk menyediakan 100 rumah agar ia dan warga sukunya bisa tinggal menetap dan menjalankan Islam secara Baik.

o0o

Perjalanan menuju Suku Taa Wana.

Agama masyarakat Suku Wana cenderung animisme. Namun, mereka tak merasa asing dengan Islam. Sebab, mereka meyakini bahwa agama yang dibawa nenek moyang mereka adalah Islam.

Hal ini dikemukakan oleh Sang Kepala Suku saat ia dan sejumlah masyarakat Wana berikrar syahadat di hadapan Muhaimin. "Islam adalah agama nenek moyang kami," cerita Sang Kepala Suku sebagaimana diungkapkan oleh Muhaimin.

Memang, menurut cerita turun temurun, dulu di Sulawesi Tengah pernah hidup dua kakak beradik di hutan Tokala. Meski tinggal bersama, keduanya memiliki keyakinan yang berbeda. Sang kakak, Pue Pololoisong, memiliki kepercayaan yang mereka sebut Halaik, sedang sang adik, Ade Banggai, memeluk agama Islam. 

Kisah turun temurun ini dilaporkan pula oleh Zaiful, peneliti pada Yayasan Merah Putih, Palu, Sulawesi Tengah, dalam makalah berjudul Mengenal Komunitas Wana Posangke, yang terbit tahun 2015 . Menurut Zaiful, meski kedua kakak beradik ini berbeda keyakinan, mereka bisa hidup rukun. Mereka tak pernah berselisih, dan saling menghargai keyakinan masing-masing.

Dalam perkembangan selanjutnya, masuklah para misionaris. Mereka gencar mengajak masyarakat Suku Wana untuk memeluk Kristen. "Saya melihat langsung bagaimana aksi mereka," jelas Muhaimin. 

Ini juga yang menambah semangat Muhaimin untuk berdakwah dan membina Suku Wana. "Kalau misionaris saja gencar, mengapa kita kaum Muslim tidak sungguh-sungguh mengajak mereka ke dalam Islam? Para misionaris mengajak kepada kesesatan, sedang kita mengajak kepada keselamatan. Lalu mengapa kita kalah?" tutur Muhaimin.

Dari sisi fasilitas, Muhaimin dan para dai yang berdakwah di Suku Wana jelas kalah jauh dengan para misionaris tersebut. "Ibarat langit dan bumi," kata Muhaimin. Para misionaris tersebut datang ke lokasi menggunakan helikopter, sedang Muhaimin menggunakan motor tua atau berjalan kaki.

Sebenarnya, Muhaimin paham, tak ada larangan bagi siapa pun untuk mendakwahkan agamanya kepada masyarakat Suku Wana, asalkan "kompetisi" tersebut berjalan fair. Sayangnya, menurut Muhaimin, para misionaris tersebut sering bertindak curang.

Pernah suatu ketika, beberap Muslim Suku Wana dipanggil ke kecamatan oleh masyarakat Kristen. Ternyata di sana mereka dipaksa minum arak yang memabukkan. "Jika tidak mau, akan dihajar," kata Muhaimin.

Muslim Suku Wana ini kemudian mengadukan perlakuan kasar ini kepada Muhaimin yang saat itu sedang berada di kota. 

"Saya langsung telepon Pak Kapolsek. Saya bilang, 'Tolong ditangani pak. Kalau tidak ditangani, saya akan tangani dengan cara saya sendiri'," cerita Muhaimin. 

Kapolsek dan jajarannya langsung pergi ke Dusun Watumarando. Kepala Desa mengumpulkan semua yang terlibat dalam aksi pemaksaan tersebut. Muhaimin dan pemuka Kristen juga dipanggil ke sana.

Di hadapan pemuka dan masyarakar Kristen, Muhakmin berkata, "Kalau niat kita sama-sama ingin membangun kampung ini, ayo kita bergandengan tangan. Tapi jangan coba-coba meneror kami dengan cara begini. Percuma! Mati pun kami tidak takut." 

Pada kesempatan yang lain, ketika Muhaimin belum lama berdakwah di Dusun Watumarando, seorang oknum pendeta mengancam masyarakat Wana yang sudah masuk Islam. 

Mengetahui hal ini, Muhaimin segera mendatangi oknum pendeta tersebut dan berkata, "Pak pendeta, jangan coba-coba ancam teman-teman saya yang sudah masuk Islam. Jangan sangka saya takut dengan ancaman Pak Pendeta. Saya sudah terbiasa keluar masuk hutan di Poso." 

Tak disangka, oknum pendeta tersebut ketakutan luar biasa. Ia bergegas pergi, dan sejak saat itu tak pernah kelihatan lagi di sana.

Tahun 2020, ketika virus corona mulai marak, Muhaimin datang ke Suku Wana sambil membawa hewan kurban. Namun anehnya, tak ada masyarakat Wana yang mau menerima hewan tersebut. 

Setelah diusut ternyata mereka telah dihasut oleh oknum pendeta yang lain dengan mengatakan bahwa daging kurban yang dibawa Muhaimin sudah terkena racun.

Setelah Muhaimin menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, barulah keesokan harinya masyarakat Wana berbondong-bondong mengambil hewan kurban tersebut. 

Begitulah tantangan dakwah di Suku Wana. Jika bukan karena karunia sabar yang diberikan Allah Ta'ala kepada para dai ini --serta niat yang terus mereka jaga-- rasanya tak mungkin bisa bertahan tetap berdakwah dan membina masyarakat suku pedalaman ini selama bertahun-tahun.

Lalu bagaimana janji Muhaimin membangunkan 100 rumah untuk masyarakat Suku Wana? Mari kita lanjutkan kisah ini. 


Berjuang Memenuhi Janji

Kamis, 19 Desember 2024, saya dan Ketua PosDai Hidayatullah, Abdul Muin, ditemani seorang anak muda, Anwar Bala, memulai perjalanan mengunjungi masyarakat Suku Wana di lereng Gunung Tokala, Sulawesi Tengah. Pesawat yang kami tumpangi meninggalkan Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, pada pukul delapan pagi. 

Kami transit selama 3 jam di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, dan tiba di Palu, Sulawesi Tengah, menjelang ashar. 

Di Palu, Ust Muhaimin sudah siap membersamai kami bersama salah salah seorang ustadz yang sudah lama sekali ingin melihat dari dekat perkampungan Suku Wana dan meminta agar diizinkan ikut serta. Ustadz tersebut bernama Ismail Ali. 

Keesokan harinya, dua jam sebelum azan subuh berkumandang, kami berlima memulai perjalanan menuju Poso menggunakan mobil Isuzu D-Max. Mobil tersebut kami perkirakan cukup tangguh melewati jalan berbatu dan berlumpur.

Tiba di Mamboro, Palu Utara, kami mengisi bahan bakar solar di tempat eceran. Sengaja kami tidak mengisi bahan bakar di SPBU Pertamina karena antrian terlalu panjang.

Harga solar di eceran Rp 400 ribu per dirigen. Satu dirigen memuat 35 liter solar. Kami mengisi dua dirigen dan membawa bekal dua dirigen untuk berjaga-jaga jika bahan bakar habis di tengah jalan.

Setelah melewati Parigi Moutong dan sempat mencicipi Lalampa --makanan khas Sulawesi Tengah yang terbuat dari ketan-- kami tiba di Poso. Kami hanya mampir untuk makan siang dan shalat Dhuhur, lalu melanjutkan kembali perjalanan ke Ampana, Kabupaten Tojo Una-Una. 

Di Ampana, kami hanya mampir sebentar di Pesantren Hidayatullah, sekadar membasahi tenggorokan dengan air kelapa muda. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan menuju Kabupaten Banggai.

Pukul 21.00, kami tiba di Masjid Raya Pagimana, Kabupaten Banggai. Kami merebahkan tubuh di masjid tersebut hingga pukul tiga dini hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Luwuk dan Toili, keduanya masih berada di Kabupaten Banggai. 

Istirahat dan bermalam di rumah salah seorang penduduk di Morowali Utara.



Di Toili, sekitar pukul 10.36, kami mendatangi rumah Abdurrahim, salah seorang warga Toili asal Jawa Barat yang akan menyertai kami ke perkampungan Suku Wana.

Abdurrahim -- yang biasa kami sapa Wak Ocim (dalam bahasa Sunda uwak berarti paman) -- adalah tukang kayu yang serba bisa. Dialah yang sejak awal dilibatkan oleh Muin dan Muhaimin untuk mendirikan rumah-rumah kayu yang sederhana di lahan yang akan dijadikan kampung mualaf Suku Wana.

Abdurrahim tersenyum lebar melihat kami datang. "Saya baru saja menyelesaikan proyek pembuatan jembatan. Sekarang saya sudah siap ke kampung Suku Wana," katanya.

Tas berisi pakaian dan alat-alat kerja sudah ia siapkan. Rupanya ia sudah berniat menginap satu atau dua pekan di kampung mualaf Suku Wana untuk menyelesaikan pembangunan sekolah agar anak-anak di sana bisa belajar dengan nyaman.

Kampung mualaf Suku Wana menempati lahan seluas 20 hektar. Lahan tersebut disediakan oleh kepala suku Wana kepada PosDai Hidayatullah untuk dibangunkan 100 rumah. Saat ini, kata Muin, ketua PosDai, sudah berdiri 23 rumah. Tahap awal, mereka menargetkan pembangunan 47 rumah, plus masjid dan sekolah.

Kampung mualaf tersebut, jelas Muin lagi, telah dibangun oleh Pos Dai sejak tahun 2016 dan diberi nama Desa Karya Suku Wana. Penghuninya otomatis semua Muslim. Pembangunan ini, kata Muin, dimaksudkan agar masyarakat Muslim Suku Wana tidak hidup berpindah-pindah lagi. Jika mereka sudah menetap, pembinaan lebih mudah dilakukan.

Hal senada juga diungkap Ust. Muhaimin. "Kita ajak mereka berkebun di sekitar kampung ini. Rupanya mereka merasa cocok dan tidak mau pindah-pindah lagi," jelas Muhaimin. Bahkan, mereka mengaku capek berpindah-pindah terus.

PosDai sendiri telah menempatkan seorang dai muda lulusan Sekolah Dai Ciomas, Bogor, Jawa Barat, untuk membina para mualaf di sana. Namanya, Muhammad Azka. Sedang guru yang mengajar anak-anak di sana adalah Muhammad Deprin dan isterinya Titin. Dulu, Deprin juga berasal dari Suku Wana, namun ia telah lama hijrah. 

Proses belajar mengajar anak-anak Suku Wana sebetulnya telah dimulai sejak tahun 2022. Jumlah murid sekitar 30 orang. Ada yang masih duduk di kelas 1 SD, namun ada pula yang sudah duduk di kelas 6. "Tempat belajar masih sangat sederhana. Karena itulah kami ingin membangunkan sekolah yang lebih layak," kata Muin.

Rencananya, bangunan sekolah yang akan didirikan kelak terdiri atas dua ruangan. Ruang pertama berukuran 7x8 meter persegi, sedang ruang kedua berukuran 5x9 meter persegi. Kedua ruangan ini tentu akan disekat-sekat lagi karena anak-anak tersebut duduk di kelas yang berbeda-beda. Atap sekolah akan terbuat dari seng, sedang lantainya dari semen cor. Dinding terbuat dari papan. Semua akan dibangun oleh Wak Ocim.

Rumah-rumah yang kini telah berdiri juga dibangun oleh Wa Ocim. Bahannya terbuat dari kayu dan papan, dibangun agak tinggi. Atapnya dari seng. Luas satu rumah sekitar 5x7 meter persegi.

Menurut Muin, biaya membangun satu rumah sekitar Rp 20 juta hingga Rp 25 juta. Dana tersebut dihimpun dari para donatur yang bersedia mendukung program pembangunan kampung mualaf ini. 

"Kami dan semua masyarakat Suku Wana sangat berterima kasih atas dukungan masyarakat," jelas Muin.

Selain rumah dan sekolah, di lahan tersebut juga telah berdiri masjid sederhana berukuran 15x15 meter persegi. Masjid tersebut bernama Darussalam, mampu menampung kira-kira 250 jamaah. Di masjid itulah pembinaan masyarakat dipusatkan.

Masjid ini, cerita Muhaimin, sudah dibangun sejak tahun 2018, atau dua tahun setelah proses ikrar syahadat massal Suku Wana. Proses pembangunannya tidak mudah. Sebab, material harus diangkut dari luar kecamatan. Sementara jalan yang harus dilalui penuh lumpur. Tak ada kendaraan yang bersedia mengangkut bahan material tersebut.

Terpaksa, bahan-bahan itu diangkut dengan perahu. "Akibatnya, biaya menjadi melonjak tinggi," cerita Muhaimin. Satu kali angkut biayanya Rp 600 ribu. Itu pun hanya 4 semen yang bisa dibawa. Waktu tempuh bisa satu hari penuh.

Syukurlah masjid tersebut akhirnya bisa berdiri. Peresmian masjid dilakukan langsung oleh Wakil Bupati Morowali Utara. "Pak Wakil Bupati sampai keheranan, bagaimana caranya membawa material sampai ke sini? Sementara beliau sendiri merasa sangat kesulitan untuk sampai ke tempat ini," kata Muhaimin menirukan rasa penasaran wakil bupati.

Setelah masjid dan beberapa rumah sudah berdiri, proses pemasangan pipa air bersih juga dilakukan. Begitu pula pembangunan MCK. Hanya saja, jelas Muhaimin, listrik belum bisa masuk. "Masyarakat di sini masih menggunakan listrik tenaga surya yang hanya bisa menyala beberapa jam saja," kata Muhaimin.

Muhaimin pernah mengajukan pemasangan listik tenaga air (PLTA) ke pihak PLN Poso. Namun, setelah pihak PLN meninjau ke lapangan, pemasangan PLTA tidak mungkin dilakukan. Ini karena Sungai Bongka, sungai terbesar di dekat perkampungan mualaf, sering banjir.

Muhaimin juga sudah mendaftarkan perkampungan mualaf tersebut ke pemerintah desa. Jika rencana pembangunan 100 rumah bisa rampung, pihak desa bisa melakukan pemekaran. Artinya, sudah bisa menjadi kampung sendiri, terpisah dengan Kampung Watu Marando.

Waktu sudah menunjuk pukul 5 sore. Kami sudah harus melanjutkan perjalanan ke Desa Tanukaraya, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara. Bahan-bahan bangunan berupa semen, seng, paku, kayu, dan sebagainya, telah dibeli di toko bangunan di Toili. Bahan-bahan tersebut akan dibawa dengan kendaraan jonder yang biasa digunakan para pekebun untuk mengangkut hasil kebunnya seperti sawit atau kelapa. Kendaraan ini memiliki ban yang besar dan tenaga yang kuat.

Mobil yang kami tumpangi mulai melewati jalan menyempit dan berbelok-belok. Pukul 21.00, kami baru tiba di Desa Tanakuraya. Perjalanan tidak mungkin dilanjutkan dalam kondisi gelap. Kami beristirahat di rumah salah seorang warga.

Keesokan harinya, Ahad, 22 Desember 2025, kami melanjutkan perjalanan menyusuri lereng Gunung Tokala. Mobil Isuzu Dimax yang kami kendarai mulai bergerak pelan karena jalan yang dilewati tidak rata. Selain banyak bebatuan besar, juga sering melewati kubangan lumpur. Bahkan, dalam satu kesempatan, ban mobil terperosok hingga butuh waktu cukup lama untuk bisa bebas dari perangkap lumpur tersebut. Beberapa sungai dangkal juga kami lewati.

Menjelang sore, awan mulai mendung. Kami terpaka mempercepat laju kendaraan. Jika hujan turun saat kami masih di perjalanan, mobil tak akan mampu menembus "lautan" lumpur akibat hujan.

Syukurlah, hujan belum turun ketika kami sudah tiba di puskesmas Desa Salubiro, Kecamatan Bungku Utara, Morowali Utara. Perjalanan menuju perkampungan Suku Wana masih jauh. Tiba-tiba hujan turun sangat deras. Kami tak bisa melanjutkan perjalanan. Tak ada pilihan lain, malam ini kami terpaksa menginap di puskesmas setelah meminta izin terlebih dahulu kepada bidan yang bertugas di sana.

Keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Kendaraan mobil atau motor tak bisa lagi menembus kubangan lumpur akibat hujan deras semalam. "Butuh waktu enam jam berjalan kaki agar kita bisa sampai ke perkampungan Suku Wana," kata Wa Ocim.

Perjalanan dimulai pukul 8 pagi, melewati jalan setapak yang kadang licin karena lumpur. Beberapa kali kami harus menyeberangi sungai yang tidak terlalu dalam.  

Setelah berjalan kaki selama 4 jam, kami tiba di Kampung Wonsa. Kami beristirahat di rumah salah seorang penduduk. Setengah jam kemudian, barulah kami melanjutkan perjalanan kembali hingga tiba di pinggir anak sungai Bongka.

Watu Marando, tempat kampung mualaf Suku Wana yang dibangun Pos Dai Hidayatullah, sudah sangat dekat. Kami tinggal menyeberangi sungai selebar kira-kira 15 meter, maka sampailah kami di perkampungan itu. Badan rasanya amat letih. Terbayang bagaimana Ust Muhaimin dulunya harus melewati jalan ini setiap bulan untuk membina masyarakat Suku Wana.

Tiba-tiba, Ust Ismail Ali yang sejak awal menyertai perjalanan kami berhenti. Ia terdiam sambil memegang dadanya. Mulutnya bergerak pelan menyebut asma Allah. "Astaghfirullahal adzim." Lalu ia roboh.

Kami menyangka Ust Ismail Ali hanya pingsan karena kelelahan. Setelah tubuhnya kami baringkan di atas anjungan di pinggir sungai, barulah kami menyadari denyut jantungnya sudah tak ada. Tangan dan kakinya dingin. Nafasnya sudah tak terasa. Wajahnya sangat jelas menyunggingkan senyum.

Innalillahi wainnailaihi rojiun. Ust Ismail Ali yang begitu ingin terlibat dalam pembinaan masyarakat Suku Wana rupanya telah Allah sampaikan pada akhir perjalanan hidupnya. Namun, tugas membina masyarakat Suku Wana jelas belum berakhir. Tugas membangun Kampung Mualaf Suku Wana tetap akan dituntaskan oleh Muhaimin, Muin, dan para dai yang mendedikasikan hidupnya untuk dakwah di jalan Allah Ta'ala.

Satu hilang, seribu akan terbilang. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat