Laman

Minggu, 25 September 2022

Sebuah Kampung Untuk Suku Togutil

Pada penghujung 2015, beredar kabar seorang warga Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara, dibunuh secara sadis. Ia dimutilasi.

Suku Togutil dan rumahnya di pinggir sungai.

Lalu beredar kabar bahwa pelaku mutilasi tersebut adalah warga suku pedalaman yang tinggal di hutan-hutan Halmahera. Namanya Suku Togutil, atau dikenal pula dengan Suku Tobelo Dalam.

Sebenarnya tuduhan tersebut belum terbukti. Namun, media massa ketika itu sudah memberitakannya. Warga Maba pun sudah terlanjur percaya. Mereka ketakutan. Apalagi perkampungan penduduk saat itu belum dialiri listrik. Rumah penduduk juga belum banyak. Ini semua membuat suasana semakin mencekam. Warga takut bertemu orang suku.

Namun, tidak bagi Nurhadi, dai muda Hidayatullah asal Pemalang, Jawa Tengah, yang telah tinggal di Maba sejak tahun 2011. Ia justru heran mengapa setiap kali ada kejahatan di wilayah itu telunjuk langsung diarahkan kepada orang-orang suku Togutil? Apakah betul orang-orang suku tersebut jahat?

"Saya tidak percaya," jelas Nurhadi kepada saya yang menemuinya di Halmahera pada pertengahan Juni 2022.

Rasa penasaran membuat Nurhadi mulai mencari informasi siapa sebenarnya orang-orang Toghutil tersebut. Ia yakin, mereka tak seseram yang diceritakan masyarakat. Bahkan, Nurhadi juga meyakini orang-orang suku tersebut bisa didekati, didakwahi, dan diajak memeluk Islam.

"Saya terinspirasi oleh semangat dakwah dai-dai di Papua. Mereka bisa mengajak masyarakat primitif masuk Islam. Kalau di sana bisa, seharusnya di sini juga bisa," jelas Nurhadi lagi.

Nurhadi lalu mengumpulkan informasi tentang suku Togutil. Ia menjadi paham bahwa jumlah orang Suku Togutil di Halmahera, Maluku Utara, sebenarnya tidak sedikit. Namun, mereka menetap di dalam hutan, utamanya di sekitar Totodoku, Tukur-Tukur, Lolobata, Kobekulo, dan Buli, yang termasuk dalam areal Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, Kabupaten Halmahera Utara. Hanya beberapa saja yang tampak keluar hutan dan masuk ke perkampungan.

Nurhadi juga mulai paham bahwa orang-orang Togutil ini hidup berkelompok. Satu kelompok bisa berjumlah 40 orang, namun masih satu keluarga besar. Mereka tinggal di gubuk-gubuk kecil yang hanya terbuat dari bambu dan kayu. Atapnya daun palem (Livistonia sp), dan lantainya dari papan. Umumnya gubuk mereka tak berdinding. Mirip saung.

Jika dilihat fisiknya, roman muka dan warna kulit orang Togutil agak berbeda dengan orang-orang Tobelo pesisir. Mereka lebih mirip orang Melayu. Namun, mereka berbicara satu sama lain dengan bahasa Tobelo, mirip dengan bahasa yang dipergunakan penduduk pesisir.

Pakaian mereka masih sederhana. Kebanyakan bertelanjang dada. Kehidupan mereka dari berburu babi, rusa, atau mencari ikan di sungai-sungai, mengumpulkan telur megapoda, damar, dan tanduk rusa untuk dijual kepada orang-orang di pesisir.

Sebagian dari mereka ada yang berkebun. Biasanya kebun mereka ditanami pisang, ketela, ubi jalar, pepaya, dan tebu. Namun, karena mereka suka berpindah-pindah, kebun mereka tak diolah secara serius. Kadang mereka tinggalkan begitu saja lahan yang sudah mereka tanami.

Sehari-hari mereka biasa menyantap makanan yang dioleh dengan cara dibakar, atau langsung mereka makan mentah-mentah. Ada umbi-umbian, pucuk daun muda, buah buahan, atau hasil buruan. 

Masyarakat suku Togutil tak memiliki agama. Hanya saja, mereka percaya pada kekuatan makhluk halus di sekitar mereka. Untuk mengendalikan mahluk-mahluk halus tersebut mereka mempersembahkan sesajaen dan upacara-upacara tertentu.

Karena tak memiliki agama, norma yang mereka anut pun tak sesuai dengan fitrah manusia. Ada laki-laki yang memiliki banyak "isteri", namun ada juga perempuan yang memiliki banyak "suami". Bahkan, kata Nurhadi, ada bapak yang mengawini anaknya, atau kakak yang mengawini adik kadungnya.

Jika siang, laki-laki dewasa akan keluar untuk berburu atau berkebun. Hanya anak-anak dan wanita yang tinggal di gubuk itu. Jika ada yang menggangu, mereka segera melawan atau pindah ke tempat lain. Begitu juga jika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal, mereka segera pindah. Sebab, cerita Nurhadi, mereka percaya orang yang meninggal bisa mendatangkan bencana. 

Semakin banyak informasi yang diperoleh Nurhadi tentang orang-orang Togutil, semakin tertarik ia untuk menemui mereka. Ia yakin, orang-orang suku ini tak sejahat sebagaimana diceritakan banyak orang. Mereka manusia biasa yang punya hak untuk mendapat bimbingan. 

Boleh jadi, hidayah belum turun kepada mereka karena selama ini tak ada dai yang menyampaikan kebenaran kepada mereka. Jika memang demikian, tak pada tempatnya mereka dituding, dicurigai, bahkan dijauhi. 


Tertarik Akhlak yang Baik

Pada penghujung 2015, Nurhadi membulatkan tekad untuk mencari di mana orang-orang suku Togutil itu berada. Awalnya, Nurhadi menemui penduduk kampung Maba yang pernah bertemu orang-orang pedalaman itu, dan meminta mereka mengantar Nurhadi menemui orang-orang suku terasing tersebut. 

Nurhadi

Rupanya pencarian tak segera berbuah hasil. "Kami berjalan berhari-hari, tapi tidak juga ketemu orang-orang Togutil," cerita Nurhadi. Inilah awal kisah dakwah yang panjang kepada penduduk suku pedalaman. Nurhadi, dai muda kelahiran 1986 ini dengan segala kesabaran dan keterbatasannya, terus berusaha mencari calon "santri"nya yang "sembunyi" entah di mana.

Akhirnya, Allah Ta'ala mempertemukan Nurhadi dengan orang-orang Suku Togutil. Pertemuan pertama berlanjut dengan pertemuan kedua, ketiga, dan seterusnya hingga Nurhadi mulai akrab dengan beberapa di antara mereka.

"Mulanya mereka curiga dengan saya," cerita Nurhadi. Namun, pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, mereka mulai mau menerima Nurhadi. Apalagi Nurhadi sering membawa makanan. Mereka malah sering makan bersama. "Jika sudah mau makan bersama, itu tandanya mereka sudah terbuka dengan kita," jelas Nurhadi lagi.

Suatu ketika, Nurhadi menyempatkan diri bermalam di gubuk-gubuk mereka. Saat itu hujan deras turun. Nurhadi menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang-orang Togutil itu kebasahan karena gubuk mereka bocor. Namun mereka tetap tertidur lelap, baik anak-anak, maupun para wanita.

Nurhadi juga menyaksikan bagaimana mereka kelaparan ketika hasil buruan tidak ada, bahkan sampai dua hari mereka tak menemukan makanan. Lalu mereka mengikatkan rotan ke perut. "Saya tanya, mengapa rotan itu diikatkan ke perut sampai 10 gulungan? Kata mereka, ini untuk menahan lapar."

Fakta-fakta tersebut membuat laki-laki berhati lembut ini menangis. "Saya tidak bisa menahan lagi. Saya menangis melihat mereka," kata Nurhadi. Ini semua kian mengokohkan tekadnya untuk membantu kehidupan orang-orang Togutil.

Maka, sejak itu, hari-hari Nurhadi mulai disibukkan untuk membina masyarakat suku terasing tersebut. Kadang ia harus berjalan masuk hutan seharian dengan bekal terbatas. Namun setelah sampai di tempat di mana mereka biasa bertemu, ternyata gubuk orang-orang Togutil itu sudah kosong. Mereka sudah pindah.  

Suatu ketika, Nurhadi datang membawa kue-kue kering dan pakaian layak pakai untuk mereka. Bukan main mereka senang, meskipun mereka belum terbiasa mengenakan baju. "Baju dan celana yang saya bawa cuma dipakai satu kali. Setelah lama  dipakai, mereka buang," cerita Nurhadi. 

Sebenarnya jarak antara kediaman Nurhadi dengan gubuk-gubuk masyarakat suku Togutil yang dibinanya sangat jauh. Nurhadi tinggal di Pesantren Hidayatullah di Maba, sedang masyarakat suku yang dibinanya berada di Maba Utara. Jarak tempuh perjalanan bisa 5 jam lewat darat dan laut.

Karena itu, pembinaan tidak bisa dilakukan setiap hari.  "Kalau ada biaya, saya datang ke mereka sambil membawa makanan. Kadang seminggu sekali, kadang sebulan sekali," cerita Nurhadi.

Salah seorang warga Suku Togutil

Biasanya, sekali berkunjung, Nurhadi menginap semalam atau dua malam di Desa Satuan Pemukiman (SP) 2, wilayah transmigrasi terdekat. Untunglah selalu ada warga desa yang menyediakan rumahnya untuk diinapi oleh Nurhadi. Bahkan, cerita Nurhadi, di awal-awal pembinaan, ia bisa menginap berminggu-minggu di desa tersebut agar bisa mengunjungi orang-orang Togutil setiap hari. 

Lama-lama, beberapa orang Togutil mulai akrab dengan Nurhadi. Mereka mendirikan gubuk-gubuk di dekat sungai di pinggir desa. Mereka juga bersedia mengenakan pakaian yang rapi dan bercocok tanam. Beberapa kali Nurhadi mencarikan bibit tanaman pokok seperti jagung, ubi, singkong, bahkan padi untuk mereka. 

"Saya baru bisa benar-benar beradaptasi dengan mereka setelah satu setengah tahun. Saya sedikit-sedikit belajar bahasa mereka," cerita Nurhadi. 

Setelah hubungan kian baik, Nurhadi mulai memperkenalkan Islam kepada mereka. Secara sukarela, mereka bersedia memeluk Islam. Herman, salah seorang warga desa yang menikah dengan wanita suku Togutil, bercerita kepada saya bahwa ia dan istrinya memeluk Islam karena tertarik dengan akhlak yang dicontohkan oleh Nurhadi. 

"Islam mengajarkan kerapian. Islam mengajarkan akhlak yang baik. Islam mengajarkan menolong sesama. Karena itu kami mau masuk Islam," kata Herman.

Setelah masuk Islam, Herman, isterinya, dan sejumlah warga suku Togutil bersama masyarakat setempat mulai belajar shalat dan mengaji. Setiap kali Nurhadi datang, mereka selalu berkumpul di salah satu rumah warga dan meminta Nurhadi mengajari mereka membaca huruf-huruf al-Qur'an.

Seperti malam itu, Selasa 21 Junj 2022, saat saya tiba di rumah Herman, masyarakat sudah berkumpul. Nurhadi mengajari mereka satu per satu. Setiap kali salah seorang di antara mereka selesai membaca huruf hijaiyah, yang lain spontan berkata "marahay". Artinya, "hebat".

Kini, kata Nurhadi, sudah ada 83 warga Suku Togutil yang memeluk Islam. Para wanita sudah ada yang mengenakan jilbab. Anak-anak juga sudah mau sekolah. Bahkan, di antara mereka, ada yang merelakan putranya dibawa oleh Nurhadi untuk menuntut ilmu di Pesantren Hidayatullah Subaim, Halmahera Timur. 


Membangun Kampung Mualaf

Pertengahan Juni 2022, saya bersama Tim Pos Dai Hidayatullah mengunjungi Nurhadi di Maluku Utara. Kami terbang meninggalkan Jakarta sebelum subuh menuju Ternate, ibukota Provinsi Maluku Utara. Setelah menginap satu malam di Ternate, kami menyeberang ke Pulau Halmahera, lalu melanjutkan perjalanan darat selama hampir 5 jam ke arah Tobelo Barat. 

Di Tobelo, kami menginap satu malam, kemudian melanjutkan kembali perjalanan lewat laut dan terhempas di antara gelombang laut yang memaksa kami harus berteriak "Allahu Akbar." Setelah 4 jam perahu kecil yang kami tumpangi membelah ombak, sampailah kami di pesisir Maba Utara. 

Perjalanan rupanya belum berujung. Kami masih harus meniti jalan setapak berkerikil dan berbelok-belok selama hampir satu jam menggunakan kendaraan motor. Akhirnya, tibalah kami di sebuah kawasan terbuka yang pepohonannya baru saja ditebang. Kawasan tersebut masih masuk wilayah Tutukur, Maba Utara, Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara, tepatnya di dekat Satuan Pemukiman (SP) warga transmigrasi.

Lahan yang akan dibangun kampung mualaf Suku Togutil

"Inilah lokasi yang nanti akan kita bangun perkampungan Suku Togutil," jelas Nurhadi. Ikut pula menyertai kami Ketua Departemen Komunikasi dan Penyiaran Dewan Pengurus Pusat Hidayatullah, Shohibul Anwar, serta Bendahara PosDai Pusat, Abdul Muin.

Saat kami tiba tentu saja belum ada bangunan sama sekali di atas lahan seluas 3 hektar tersebut. Yang ada hanya pepohonan yang baru saja ditebang dan semak belukar yang habis dibakar.  

Namun, Nurhadi mengimpikan kelak di atas lahan tersebut akan berdiri rumah-rumah warga, sekolah, dan masjid. Inilah cikal bakal berdirinya kampung mualaf suku Togutil. Jika Allah Ta'ala memudahkan terwujudnya rencana ini maka babak baru pembinaan para mualaf suku Togutil akan dimulai. 

Shohibul Anwar, Ketua Departemen Komunikasi dan Penyiaran DPP Hidayatullah, membenarkan bahwa pembinaan kepada masyarakat suku Togutil akan jauh lebih efektif dan efisien bila mereka menetap di suatu tempat. Sebab, kata Shohibul, pembinaan harus dilakukan secara berkesinambungan.

"Mana mungkin kita bisa membina mereka secara tuntas jika mereka terus berpindah-pindah," kata Shohibul. Dulu pun, ketika Rasulullah s.aw. tiba di Madinah, maka bangunan pertama yang didirikan oleh Rasulullah s.a.w, adalah masjid. Ini tujuannya agar masyarakat memiliki tempat untuk beribadah secara bersama-sama, berkumpul, bermusyawarah, dan menimba ilmu.

Nurhadi menyadari, tak mudah mengajak masyarakat suku Togutil menetap di rumah yang permanen. Hanya saja, Nurhadi berharap, warga suku Togutil yang telah ia bina selama ini tak keberatan tinggal menetap jika kampung mualaf nanti sudah jadi.

Jika penghuni kampung sudah ada dan mereka sudah terbiasa tinggal di rumah permanen maka ini akan menjadi contoh masyarakat suku Togutil lainnya yang masih tinggal di hutan-hutan. 

Kelak, kata Nurhadi, masyarakat suku Togutil yang tinggal di perkampungan ini akan diajari bagaimana cara beternak dan bercocok tanam. Mereka juga akan diberi lahan untuk digarap. Karena itu, Nurhadi sangat berharap peran serta pemerintah untuk ikut membina masyarakat Suku Togutil ini.

Menurut Aman, Kepala Desa Wasileo, salah satu desa di Maba Utara yang menjadi hunian warga suku Togutil binaan Nurhadi, masyarakat suku pedalaman memang suka berpindah-pindah.

"Saya pernah dua kali bertemu mereka. Memang tidak mudah meminta mereka menetap. Mereka perlu disadarkan dulu," jelas Aman kepada _penulis_.

Namun Aman memberi apresiasi atas apa yang dilakukan Nurhadi. "Pemerintah sangat terbantu dengan Ust Nurhadi ini. Mudah-mudahan dengan pembinaan yang terus menerus mereka mau menetap di kampung yang kita buat nanti," jelasnya.

Aman berjanji akan membantu membuatkan warga suku Togutil ini KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan KK (Kartu Keluarga). "Sekarang ada perubahan kebijakan (bahwa) KK dan KTP bisa diurus di kelurahan atau kantor desa," kata Aman. Ini akan mempermudah pengurusan dua surat penting bagi warga negara Indonesia tersebut.

Sementara itu, Jaelani, Kepala Desa Satuan Pemukiman (SP) 2, tempat di mana suku Togutil banyak mendirikan gubuk-gubung mereka, mengatakan bahwa dulu warga transmigrasi di desanya banyak. Jumlahnya mencapai lebih dari 300 kepala keluarga (KK). Mereka menanam kopra dan kelapa. Kopra dijual seharga Rp 6 ribu per kilo, sedang kelapa Rp 800 per butir.

Namun, tak lama setelah mereka mendiami wilayah transmigrasi ini, satu per satu mereka pulang kembali ke asalnya. Tinggallah sekitar 100 KK yang kebanyakan memang penduduk asli Halmahera. Penyebabnya, mereka tidak kuat dengan kondisi alam yang sulit. 

"Transportasi ketika itu hanya jalan setapak berlumpur. Tak bisa dilewati motor. Jembatan penyeberangan belum ada. Hasil kebun juga sulit dijual," jelas Jaelani. 

Sekarang kondisi sudah berangsur membaik. Beberapa jembatan sudah dibangun. Jalanan, meski masih berupa setapak di beberapa ruas, namun sudah bisa dilewati motor.

Jaelani berharap, kampung mualaf bisa segera dibangun sehingga desa mereka akan lebih ramai. Jaelani percaya kehidupan orang-orang suku Togutil akan lebih berkembang bila mereka menetap di kampung dan berbaur dengan masyarakat. Sebab, selama ini, mereka sudah terbiasa hidup sulit di hutan-hutan. Jadi, sesulit apa pun kehidupan mereka nanti, mereka akan mampu bertahan. 

Jaelani juga mengakui kehidupan ber-Islam masyarakat di wilayahnya masih belum bagus. Masih banyak yang belum bisa mengaji. Jumlah Muslim juga minoritas. Komposisinya 30 berbanding 70. 

Untunglah, kata Jaelani, tak ada gesekan antara pemeluk Islam dan non-Islam. Bahkan, pernah suatu ketika, ada warga non-Muslim meninggal dunia. Jenazahnya tak ada yang mau mengurus. Warga non-Mulim justru meminta kepada warga Muslim agar jenazah diurus sesuai kebiasaan orang Islam saja. 

Jaelani tentu tidak mau. Sebab, ia tahu persis orang tersebut bukan Muslim. " Kami diskusi tentang ini sampai 3 jam. Tidak ada kata sepakat," cerita Jaelani.

Demikian gambaran keadaan beragama di desa tersebut. Jaelani berharap ada dai yang mau membimbing mereka dan tinggal bersama mereka, termasuk membimbing masyarakat suku Togutil yang nanti akan tinggal bersama mereka.

Soal ini, PosDai Hidayatullah dan Nurhadi sebenarnya sudah menyiapkan dai-dai yang dimaksud. Beberapa anak muda desa setempat telah dikirim ke Sekolah Dai Hidayatullah di Ciomas, Bogor, Jawa Barat. 

Ada juga yang dikuliahkan di perguruan tinggi milik Hidayatullah di Surabaya, Jawa Timur. Bahkan, sejumlah anak-anak Suku Togutil sudah dikirim ke Pesantren Hidayatullah di Halmahera dan Ternate.  

Kelak, setelah mereka selesai menuntut ilmu, mereka akan pulang ke kampung halamannya untuk menjadi dai di sana. Jika Allah Ta'ala memudahkan semua, kepulangan mereka akan bersamaan dengan terbangunnya kampung mualaf di Maba Utara yang kini sedang dipersiapkan oleh Nurhadi. 

Hanya Allah Ta'ala yang berkehendak untuk memudahkan semua ikhtiar tersebut. ***

Catatan
Artikel ini dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi September 2022
Anda bisa juga melihat video tentang Suku Togutil ini di Melihat dari Dekat Suku Togutil 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat